Indonetwork
Konflik Wali Kota dengan DPRD Surabaya
Selasa, 01 Februari 2011
Terpantau media sejak akhir 2010 lalu, hubungan antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan DPRD setempat semakin tegang. Entah di mana puncaknya. Namun sekarang, dukung-mendukung menggunakan massa sudah terjadi di kota terbesar kedua di Indonesia ini.
Pada Rabu, 8 Desember 2010 lalu, DPRD Surabaya menggelar rapat paripurna, dengan agenda tunggal interpelasi terhadap Wali Kota Surabaya tentang kenaikan pajak reklame. Namun, beberapa kali mikrofon di ruang sidang mati.
Mikrofon di depan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ikut beberapa kali mati. Hal itu juga dialami anggota DPRD Surabaya dari PKS, Reni Astuti. Akibatnya, Reni tidak dapat mengajukan interupsi.
Reni terang-terangan menentang usulan interpelasi, antara lain dipelopori oleh anggota DPRD yang pernah menjadi direktur perusahaan reklame, Simon Lekatompessy. Perusahaan yang dipimpin Simon termasuk terkena kenaikan paling drastis.
Selain di tempat Reni, mikrofon di depan beberapa anggota DPRD lain juga mati. Beberapa anggota DPRD menyatakan heran mikrofon bisa mati. "Sebelumnya tidak pernah seperti ini," ujar anggota DPRD Sachiroel Alim.
***
Urusan pajak reklame inil adaah salah satu pemercik yang membesarkan kobaran api konflik antara eksekutif dan legislatif di Surabaya. Benturan kepentingan memang menjadi pemicu yang paling cepat menyulut.
Dalam rapat itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menantang anggota DPRD Surabaya melakukan sumpah. Ini adalah reaksi karena Anggota DPRD Sachiroel Alim dan Eddy Budhie Prabowo berkali-kali menuding Risma melakukan konspirasi terkait kenaikan pajak reklame.
Sachiroel menuding Risma menaikkan pajak karena ingin menghabisi biro reklame lain dan hanya biro reklame tertentu saja bisa membayar pajak. Sementara Eddy menuding penaikan itu agar pemasang iklan berpromosi pada media cetak dan radio tertentu saja.
Menanggapi itu, Risma menyatakan siap disumpah dengan cara apa saja untuk membuktikan tidak ada konspirasi. "Demi Allah, demi tuhan, saya tidak ada melakukan konspirasi apapun," tandasnya.
Sementara Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana mengatakan, Risma jangan dulu membawa-bawa Tuhan dalam rapat itu. Risma diminta fokus pada hubungan sesama manusia saja.
Pernyataan Whisnu memancing reaksi Reni Astuti. Reni menyesalkan pernyataan itu disampaikan oleh pimpinan DPRD. Menanggapi itu, Whisnu malah mengancam akan mengeluarkan Reni dari ruang sidang. Alasannya, Reni sudah diingatkan dua kali agar tidak interupsi.
Dampak lain konflik itu, pengesahan APBD Kota Surabaya pun terbengkalai. Lantas Gubernur Jawa Timur Soekarwo memanggil Tri Rismaharini serta Wisnu Wardhana di rumah dinas Gubernur Jalan Imam Bonjol Surabaya, Selasa (25/1) sore.
Dalam pertemuan tertutup yang dimulai pukul 14.30 hingga pukul 15.30 itu, Gubernur secara langsung mendesak kepada Wali Kota dan Ketua DPRD segera menyelesaikan pembahasan APBD Surabaya yang hingga saat ini terkatung-katung akibat konflik politik yang sedang berkembang di Surabaya.
"APBD itu masalah dasar pembangunan, jangan sampai perseteruan antara DPRD dan Wali Kota membuat pembahasan APBD molor terus," kata Gubernur Soekarwo usai pertemuan tertutup.
Sayangnya, dalam pertemuan ini, Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana tidak datang dan hanya Wali Kota Surabaya didampingi wakilnya Bambang DH dan Sekretaris Kota Surabaya Soekamto Hadi yang hadir. Gubernur sendiri didampingi Ketua DPRD Jawa Timur Imam Soenardi. Gubernur berharap pembahasan APBD segera dilanjutkan.
Baik Tri Rismaharini, Bambang DH maupun Soekamto Hadi tidak bersedia berkomentar seusai acara. Wisnu sendiri tidak datang karena di waktu yang sama sedang berada di Polda Jawa Timur untuk melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Tri Rismaharini.
Sekadar diketahui, perseteruan politik di Surabaya antara DPRD dan Wali Kota saat ini berujung pada hak angket. Bahkan belakangan Wali Kota dilaporkan ke polisi karena berbicara di media bahwa setiap kegiatan di DPRD Wali Kota harus mengeluarkan sejumlah uang pelicin.
Ketua DPRD Jawa Timur Imam Soenardi juga minta perseteruan politik di Surabaya segera diakhiri. "Sebagai sesama orang Demokrat (ketua DPRD Surabaya Wisnu juga dari Fraksi Demokrat) saya akan minta bantuan DPP Demokrat untuk membantu mendamaikan Surabaya," kata Imam Soenardi.
***
Belakangan DPRD akhirnya benar-benar merekomendasikan pelengseran Tri Rismaharini dari kursi wali kota ke Mahkamah Agung. Rekomendasi ini diambil dalam rapat paripurna Hak Angket Perwali 56 dan 57 tentang Tarif Reklame di hari tutup tahun lalu.
Dalam rapat tersebut, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang tidak mau menandatangani kesepakatan pelengseran. Sementara, persetujuan datang dari Fraksi PDIP yang ditandatangani Agustin Poliana; Fraksi PKB oleh Masduki Toha; Fraksi Partai Damai Sejahtera diteken Simon Lekatopmessy; Fraksi Golkar ditandatangani Adies Kadir; Fraksi Apkindo diteken Sudirjo dan Fraksi Demokrat oleh Sachiroel Alim.
Meski hingga pukul 12.00 WIB, rapat paripurna hak angket Perwali Reklame belum usai digelar, Pansus satu kata terkait rekomendasi pelengseran. “Melihat hasil hak angket Perwali nomor 56 dan 57 tentang reklame, Pansus memutuskan ada pelanggaran. Kami juga sepakat merekomendasikan Risma untuk dinonaktifkan,” ujar Ketua Pansus Angket, Sachiroel Alim di sela rapat paripurna Hak Angket Perwali Reklame di gedung DPRD Surabaya, Senin 31 Januari 2011.
Toh rekomendasi pelanggaran aturan atau hukum ini penentuannya ada di Mahkamah Agung. DPRD Surabaya hanya menjalankan tugas pokok dan fungsinya saja yaitu menggelar hak angket dan melaporkan hasilnya.
Hak Angket DPRD Surabaya tentang Perwali 56 dan 57, kata dia, sudah dikonsultasikan dengan Konsultan Hukum DPRD Surabaya dan berdasarkan UU No 28/2009 pasal 28 ayat 1 menyebutkan, kebijakan yang meresahkan masyarakat meski hanya sekelompok masyarakat tetap dianggap melanggar UU. Jadi sekalipun sekelompok masyarakat itu pengusaha kecil atau besar, mereka yang dirugikan.
Simon Lekatompessy anggota Komisi C DPRD Surabaya dari Fraksi Partai Damai Sejahtera menjelaskan, DPRD Surabaya hanya mengusulkan Hak Angket Perwali 56 dan 57. Apakah dari hasil Hak Angket tersebut ada pelanggaran atau tidak, keputusannya ada di Mahkamah Agung.
Untuk diketahui dalam rapat paripurna tersebut masing-masing fraksi memberikan pandangan umum terkait Perwali 56 dan 57. Terkait dengan ini, kata Simon, sebelum dibentuk Hak Angket, DPRD Surabaya sudah melakukan hak interpelasi. Dari hasil pemeriksaan masing-masing pejabat tidak ditemukan garis lurus yang artinya ada jalur koordinasi yang putus.
Kini pendukung dan penentang Wali Kota silih berganti meramaikan suasana Surabaya. Gerakan Rakyat Surabaya (GRS) yang terdiri dari forum ketua RT dan RW se-Surabaya, misalnya, menyayangkan keputusan Dewan untuk menurunkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Karenanya, GRS mengancam akan membela apa pun yang terjadi pada Wali Kota Surabaya. "Kita akan aksi pada Rabu (9/2) nanti. Targetnya kita akan duduki DPRD supaya membatalkan keputusan memundurkan Wali Kota," kata Koordinator GRS, Mat Muktar, Senin (31/1).
Menurut Muktar, Wali Kota Surabaya telah dipilih secara langsung melalui pilkada yang sangat demokratis. Karena itu, hanya rakyat yang bisa menurunkan Wali Kota. "DPRD hanya mengatasnamakan rakyat. Mereka itu sebenarnya pengangguran yang kebetulan menjadi anggota Dewan," imbuh Muktar.
Menurut Muktar, agenda menurunkan Wali Kota merupakan [I]setting[/I] dari partai tertentu yang ujung-ujungnya untuk mengangkat salah satu pentolan partai itu menjabat Wali Kota menggantikan Tri Rismaharini.
"Saya itu dulu kader PDI-P, tapi sekarang muak. Wisnu Sakti (wakil ketua DPRD dari PDI-P) yang [I]nyeting[/I] ini semua, tujuannya supaya dia bisa menggantikan jadi Wali Kota," kata Muktar.
Sebab itu, selain mendukung Tri Rismaharini, unjuk rasa yang digelar pada Rabu 9 Februari mendatang juga akan menuntut Wisnu Sakti Buana maupun Wisnu Wardhana (ketua DPRD) untuk turun jabatan. Unjuk rasa sendiri nantinya akan diikuti oleh 5.000 massa dari seluruh RT dan RW di Surabaya.
Di sisi lain Wisnu Sakti Buana membantah jika aksi penurunan Tri Risma merupakan [I]setting[/I] dari PDI-P. "PDI-P itu yang mengusung Bu Risma. Kalau kami ingin dia mundur, itu lebih karena Bu Risma telah ingkar janji untuk sejahterakan rakyat," kata Wisnu Sakti.
Sebenarnyaa Risma sudah melunak hendak mencabut Perwali soal Reklame sesuai petunjuk Gubernur Jatim Soekarwo. Namun, kalangan DPRD tetap mengancam dengan hak angket.
Tambahan pula DPRD, malah mengancam dengan hak angket untuk masalah Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas). Sudah muncul pula suara jika Risma tetap menolak tol tengah kota Surabaya, hak angket akan menjadi senjata DPRD lagi. Melihat serangan bertubi-tubi ini, tampaknya banyak benturan kepentingan di sini, terlepas alamiah maupun rekayasa.
***
Maka, masuk akal belaka jika kelakuan DPRD Surabaya ini bertujuan melengserkan Risma di tengah jalan, melawan semangat demokrasi dengan oligarki sekelompok kecil elite politik lokal. Istilah [I]arek suroboyo: Risma arep di-Cak Narto-ke[/I] (hendak di-Cak Narto-kan), merujuk pada Wali Kota Surabaya 2000-2005. Kolonel H Sunarto Sumoprawiro.
Karir Wali Kota Sunarto berakhir tragis. Dia sakit dan diberhentikan oleh DPRD Kota Surabaya sebagai wali kota dan diganti wakilnya Bambang DH. Banyak lawan politik Bambang menduga, ada upaya merancang penggulingan Cak Narto dengan momen sakit dan menutup LPA Keputih sehingga Surabaya menjadi tidak terurus dan penuh sampah.
Sejak Juni 2002, Bambang diangkat sebagai Wali kota untuk menghabiskan sisa masa bakti pasangan Narto-Bambang hingga 2005. Kini Bambang pula yang menjadi Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Tri Rismaharini. Jadi?
Tunggu saja kelanjutannya!!!
copy dari :
indonetwork.com