Minggu, 29 September 2019

Gaya Dalam Bingkai Digital



Tokohnya Diusir di PBB, Siapa yang Marah?

Tokoh Separatis Papua Benny Wenda Diusir dari Sidang Majelis Umum PBB


29 Sep 2019

New York - Tokoh separatis Papua Benny Wenda dikabarkan hadir di Markas PBB di New York pekan ini, di mana dirinya berniat menghadiri Sidang Majelis Umum PBB. Namun, kehadirannya justru berujung pada pengusiran --menurut laporan narasumber dan media.

Sebagaimana dilaporkan ABC Indonesia pada Kamis 26 September, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) bersama rombongannya hadir di Markas PBB New York sejak pertengahan pekan.

Di New York, Benny Wenda dikabarkan sibuk melobi agar komisioner HAM PBB dapat berkunjung ke Papua --lanjut ABC Indonesia.

Ia bahkan dikabarkan 'menebeng' delegasi Vanuatu untuk masuk ke dalam sesi Sidang Umum.

Vanuatu --yang sejak Desember 2014 merupakan tempat berdiri dan markas ULMWP-- merupakan satu-satunya negara anggota PBB yang mengangkat isu Papua di majelis tahun ini.

Namun, terkait hal tersebut, delegasi Indonesia di PBB telah menggunakan hak jawab (rights of reply) yang berisi kecaman dan meluruskan komentar yang dibuat oleh PM Vanuatu Charlot Salwai Tabimasmas.

Soal kehadirannya di New York, Benny Wenda mengatakan, "Pesan saya ke masyarakat internasional, kami sangat membutuhkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk masuk ke Papua," ujarnya dalam wawancara kepada stasiun TV SBS Australia.

Pemerintah Indonesia telah menuduh Benny Wenda berada di balik kerusuhan di Propinsi Papua dan Papua Barat yang meletus sejak Agustus lalu hingga saat ini --termasuk di Wamena pada 23 September yang menewaskan puluhan orang.


Diusir dari Majelis Umum PBB

Tokoh Papua Nick Messet memastikan, PBB tidak mengijinkan Benny Wenda dan rombongannya masuk ke ruang sidang PBB dan bergabung bersama delegasi Vanuatu karena yang bersangkutan bukan warga negara Vanuatu.

"Tidak benar Benny Wenda ikut dalam ruang sidang bersama delegasi Vanuatu karena PBB membuat aturan yang ketat dan hanya mengijinkan perwakilan negara yang masuk dalam ruang sidang di New York," kata Messet, seperti dilansir Antara, Minggu 29 September.

"Peraturan yang diterapkan PBB sangat ketat. Hanya warga negara yang bisa mewakili negaranya dan masuk dalam delegasi di Sidang Umum PBB," lanjut Messet

Nick Messet yang ikut dalam delegasi RI bersama Maikel Manufandu menegaskan, selain Benny Wenda, rekan-rekannya juga tidak diijinkan masuk untuk mengikuti sidang.

Messet mengaku, dirinya sendiri yang menjadi Konsul Kehormatan Republik Nauru di Jakarta tidak bisa mewakili negara tersebut, karena masih berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga, dalam Sidang Majelis Umum PBB, dirinya tergabung dalam delegasi Indonesia.


Kata Plt. Jubir Kemlu RI

Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI mengaku tak bisa berkomentar banyak soal isu tersebut.

"Saya tidak di New York, jadi kurang memahami kondisi di sana," ujar Teuku Faizasyah.

Namun ia menjelaskan ketatnya peraturan soal delegasi yang bisa masuk ke dalam ruang sidang majelis.

"Dari sisi aturan, untuk bisa hadir memang mengharuskan akreditasi, misalnya sebagai wakil negara. Kalau dia tidak bisa masuk, artinya dari sisi ketentuan mendasar saja, dia tidak memenuhi syarat," lanjutnya saat dihubungi pada Minggu 29 September 2019.


Meset: Tidak Ada Agenda Bahas Papua di PBB

Nick Meset menambahkan, dalam rangkaian agenda Sidang Majelis Umum PBB di New York pekan ini, "tidak ada agenda yang membicarakan soal Papua dan referendum," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

"Apa yang disebarkan oleh kelompok tersebut (ULMWP pimpinan Benny Wenda) tidak benar atau hoaks," lanjutnya.

Karena itu, dirinya berharap agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan isu yang diembuskan Benny Wenda dan kelompoknya, harap Meset yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri OPM, organisasi yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Menurut Nick Meset kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Papua akibat provokasi Benny Wenda .

"Apa yang selalu dikatakan masalah Papua akan dibahas di PBB itu lagu lama karena sebelumnya dirinya bersama rekan-rekannya sudah lakukan bertahun-tahun yang lalu, sebelum Benny Wenda melakukannya," kata Meset seraya mengajak agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan apa yang diungkapkan karena itu hanya janji palsu.

Mari bersama-sama ciptakan rasa aman agar pembangunan dapat terus dilakukan hingga masyarakat di Papua benar-benar sejahtera, ajak Nick Meset.

copy dari : liputan6.com





Indonesia Protes Vanuatu karena Menyelundupkan Separatis Papua ke PBB

01 Feb 2019

Seperti dikutip dari Antara (1/2/2019), Menlu Retno menjelaskan bahwa nota protes itu dikirim ke Port Vila karena "pemerintah Vanuatu tidak menghormati kedaulatan Republik Indonesia dengan mendukung gerakan separatis Papua."

Sebelumnya, muncul pemberitaan di beberapa media asing bahwa Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda mengklaim telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Tinggi Badan HAM PBB (Kantor KTHAM PBB), Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.

Dikabarkan bahwa Benny juga mengklaim berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018-- dan meminta PBB mengirim tim HAM ke Bumi Cendrawasih.

Namun, aktivitas Benny di badan HAM PBB itu dilakukan dengan 'menumpang' delegasi Vanuatu yang dipanggil oleh Dewan HAM PBB untuk membahas Universal Periodic Review (UPR) situasi HAM di negara Pasifik itu.

Mengomentari lebih lanjut soal sikap Vanuatu dan sepak terjang Benny Wenda, Menlu Retno mengatakan bahwa Ketua ULMWP itu memiliki pola riwayat "manipulatif dan fake news".

"Saya tidak bicara karena itu klaim dia. Pola Benny Wenda itu biasanya manipulatif dan fake news, jadi kami tidak bisa mengatakan apapun mengenai 1,8 juta (penandatangan petisi)," tambah Menlu Retno usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.

Menlu Retno juga tidak ingin berspekulasi mengenai petisi yang disebutnya tidak didasarkan pada maksud baik, karena diserahkan kepada KTHAM PBB Michelle Bachelet dalam pertemuan dengan delegasi Vanuatu.

Insiden tersebut bukan hanya mengejutkan Bachelet, tetapi juga menempatkannya pada situasi yang fait accompli (tidak dapat dihindari).

"Dari penjelasan KTHAM PBB, sudah jelas bahwa dia (Bachelet) merasa di-fait accompli dalam pertemuan tersebut, karena yang bersangkutan (Benny) berbicara mengenai Papua di akhir pertemuan," tambah Menlu Retno.


Bukan Pertama Kali

Ini bukan pertama kali Ketua ULMWP Benny Wenda mengklaim telah mengirim petisi seputar Papua ke PBB. Ia pernah melakukan hal serupa pada 2017 silam, mengirim petisi referendum kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24).

Namun, komite membantah pernah menerima petisi dari ULMWP.

"Saya maupun Sekretariat Komite C-24 tidak pernah menerima secara formal maupun informal petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," kata Ketua Komite Rafael Ramirez dalam keterangan tertulis pada Jumat 29 September 2017, mereferensi surat kabar Inggris, The Guardian, yang merilis pemberitaan pertama tersebut dengan mengutip pernyataan Benny.

Ini juga bukan kali pertama Vanuatu menyuarakan seputar isu Papua di PBB. Salah satunya pada 2016 di Majelis Umum, ketika Vanuatu dan lima negara Pasifik melayangkan tuduhan pada Indonesia atas dugaan 'pelanggaran HAM' di Bumi Cendrawasih.

Kritik paling keras atas sikap Vanuatu datang dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada September 2018 di debat Sidang Majelis Umum Ke-73 PBB di Markas Besar PBB New York. Wapres mengatakan bahwa Port Vila telah "melakukan tindakan permusuhan" dan "melanggar prinsip-prinsip PBB" atas sikap mereka terhadap isu Papua di PBB.

copy dari : liputan6.com

Selasa, 24 September 2019

Mengasuh Anak-anak Kami

Merespons pesan-pesan mahasiswa yang berdemo tanggal 23/24 September 2019, menggambarkan semangat melawan gaya rejim di DPR maupun Presiden yang masih asal bergerak.



update 25 sept 2019

Senin, 16 September 2019

Vape, Bebas, Dibatasi ataukah Dilarang ?

 
Kemunculan Vape
  • 2003 by Golden Dragon Group (China)
  • 2004 by Ruyan (eCigarettes)
  • 2012 dikenal di Indonesia
  • 2015 masuk cairan dan peralatan
  • 2018 status legal (cukai)

Vape bukan pengganti rokok konvensional

Negara yg melarang penggunaan vape
Negara yg membatasi penggunaan vape


Selengkapnya lihat video berikut :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190916141547-8-99733/ini-daftar-negara-larang-pemakaian-vape

Jumat, 13 September 2019

Bergaya Bernegara Berhukum, Hanya Gaya

Surpres Revisi UU KPK: Antara Kejanggalan dan Konspirasi


13 September 2019

Penerbitan surat presiden (surpres) terkait revisi UU KPK usulan DPR menuai kritik sejumlah pihak. Prosesnya yang terbilang cepat menguatkan dugaan soal konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk melemahkan KPK.

Pada Kamis (5/9), Rapat Paripurna DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi usul dewan setelah sebelumnya diam-diam dibahas di Badan legislasi DPR. Padahal, revisi UU itu tak masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.

Sepuluh fraksi di DPR sepakat atas revisi itu. Di hari yang sama, DPR mengirimkan RUU itu kepada Presiden Jokowi.

Merespons hal tersebut, Jokowi keesokan harinya meminta DPR tak melemahkan KPK.

"Yang jelas saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Jokowi di Solo, seperi dikutip dari Antara, Jumat (6/9).

Kader PDIP di DPR, Masinton Pasaribu, kemudian mengaku bahwa pengusul revisi UU KPK itu adalah enam anggota DPR, termasuk dirinya, dari parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin. Yakni, PDIP, PKB, Partai NasDem, PPP, dan Partai Golkar.

Enam hari setelah DPR mengusulkan revisi UU KPK, Jokowi menandatangani dan mengirimkan surpres tanda persetujuan pembahasan revisi UU itu di DPR. Mensesneg Pratikno berdalih bahwa pihaknya juga mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berbeda dari naskah versi DPR.

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar menilai penandatanganan surpres mengenai revisi UU KPK ini penuh dengan kejanggalan.

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan surpres.

"Kenapa 60 hari? Kalau Anda buka [UU] 12 [Tahun] 2011 [adalah] supaya presiden berhati-hati dan paham substansi undang-undang. Jadi, kalau dipikir buru-buru sekarang, masa diburu-buru? Ada waktu 60 hari untuk pikir-pikir," kata Zainal dalam diskusi bertajuk 'Pelemahan KPK 4.0' yang berlangsung di Gedung Dwiwarna KPK, Rabu (11/9).

"Apalagi beberapa substansi [RUU KPK] bisa kita perdebatkan, kenapa presiden harus buru-buru tanda tangani surpres?" sambungnya.

Zainal menjelaskan terdapat lima tahapan dalam pembentukan Undang-undang. Tahap itu meliputi pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan.

Tahap revisi UU KPK kemarin berada di pembahasan. Namun, dalam waktu yang sangat cepat Jokowi menandatangani surpres.

"Anda bayangkan dengan proses yang gemuk seperti ini mau diringkas dalam waktu DPR tinggal berapa hari," tukas dia.

Terpisah, Staf Komunikasi dan Media Amnesty International Indonesia (AII) Haeril Halim menduga ada upaya sistematis yang dirancang oleh eksekutif dan legislatif untuk melemahkan KPK.

Hal itu, kata dia, terlihat dari pembentukan panita seleksi calon pimpinan KPK yang kontroversial dan proses revisi UU KPK yang penuh kejanggalan.

"Seolah-olah pihak eksekutif dan legislatif berbondong-bondong, cepat-cepatan. Ini yang menjadi pertanyaan publik apa yang menjadi motif pemerintah dan DPR untuk mempercepat revisi UU KPK [yang] sebagaimana kita tahu enggak masuk dalam prolegnas?" ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/9).

Dia pun mengkritik sikap Jokowi yang tutup mata dan telinga terhadap masukan publik dan KPK yang digaungkan sejak pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK.

"Presiden dan DPR perlahan-lahan mencabut oksigen dari ekosistem pemberantasan korupsi," simpul Haeril.

Senada, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan Pemerintah dan DPR telah berkonspirasi melucuti kewenangan KPK.

"Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia, di mana DPR dan Pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi," kata Laode saat dikonfirmasi, Kamis (12/9).

Laode melanjutkan, KPK sangat menyesalkan sikap DPR dan Pemerintah yang seakan menyembunyikan sesuatu dalam pembahasan revisi UU KPK. Pihaknya pun tak diikutsertakan dalam pembahasan dan belum mendapat naskah revisi dan DIM dari kedua pihak.

"Sebagai ilustrasi, mungkinkah DPR dan Pemerintah akan melakukan hal seperti ini pada lembaga lain seperti kepolisian atau kejaksaan atau lembaga-lembaga lain?" cetus dia.


(ryn/arh)


copy dari CNN Indonesia

Pengembalian mandat/tanggung jawab KPK kepada Presiden


"Saudara saudara yang terkasih dalam nama Tuhan yang mengasihi kita semua, izinkan saya bersama ini menyampaikan beberapa hal sehubungan dengan pengunduran diri saya sebagai Pimpinan KPK-terhitung mulai Senin 16 September 2019" (by Saut Situmorang)
....
Banyak yang melihat hasil pemilihan pemimpin baru KPK merupkan kabar buruk bagi aktivitis anti korupsi, dan sebaliknya merupakan “Kemenangan Oligarki Politik di Era Jokowi”.
selengkapnya : tempo



Minggu, 08 September 2019

Gaya Tanggung Jawab Kesehatan oleh Pemerintah



Iuran BPJS Kesehatan Naik, Fadli Zon: Defisit Kok Dibebankan ke Rakyat


8 September 2019

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon menyatakan rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan berlawanan dengan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan.

Menurutnya, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mestinya tidak harus dibebankan kepada masyarakat dan melawan logika unsur jaminan sosial.

“Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan. Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya,” ujarnya dikutip dari keterangan resminya, Minggu (8/9/2019).

Dia menuturkan konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.

“Siapa pun yang berkuasa di Indonesia harus menjalankan amanat konstitusi. Berangkat dari premis ini, setiap persoalan yang berkait dengan BPJS Kesehatan tak bisa langsung dilarikan ke logika rezim aktuaria kesehatan. Sebab BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran,” katanya.

Membebankan premi yang dibayarkan warga, katanya bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain. Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai cara untuk mengatasi defisit, kata, sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.

“Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel.”

Sumber : Bisnis/JIBI

copy dari  solopos


http://www.lampost.co/berita-hubungan-gelap-dunia-farmasi

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Ditolak DPR

03 September 2019

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan premi atau iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga pemerintah menyelesaikan proses data cleansing peserta.

Berdasarkan simpulan Rapat Kerja Gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR bersama beberapa kementerian dan badan terkait, DPR menyatakan menolak usulan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Suprayitno selaku pimpinan rapat tersebut menyatakan bahwa DPR tidak mempermasalahkan kenaikan iuran segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, menurutnya, kerap ditemukan ketidaksesuaian segmen dengan kondisi ekonomi peserta, seperti masyarakat kurang mampu yang tidak termasuk ke dalam PBI atau sebaliknya. Oleh karena itu, proses cleansing data dinilai mendesak sebelum pemerintah menaikkan besaran iuran.

“Ini yang penting, data cleansing ini targetnya kapan, berapa lama, karena ini nanti akan kita sinergikan dengan kenaikan iuran. Kalau defisitnya seperti itu, sampai kapan pun BPJS akan mandeg dan enggak berkelanjutan, saya kira ini harus kita selesaikan fokus pada data cleansing,” ujar Suprayitno, Senin (2/9).

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menyatakan pihaknya mengapresiasi DPR dan seluruh kementerian yang memiliki perhatian tinggi terhadap penyelesaian masalah keuangan asuransi sosial tersebut. Dia pun menerima keputusan yang disampaikan DPR.

Terkait dengan penolakan kenaikan iuran, Fahmi menegaskan bahwa pihaknya akan mempercepat proses cleansing data, terlebih setelah DPR mensyaratkan hal tersebut agar iuran dapat dinaikkan.

“Kalau kami prinsipnya, semakin cepat cleasing data akan semakin bagus. Saya ingin September [2019] selesai, deh. Tergantung bagaimana koordinasi [dengan] Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Fahmi pada Senin (2/9/2019).

Proses cleansing data seperti gerbang bagi BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan permasalahan fundamental penyebab defisit badan tersebut, yang menurut Fahmi, adalah besaran iuran yang belum sesuai hitungan aktuaria.

Dia menjelaskan, setelah proses tersebut usai maka akan diterbitkan besaran iuran sesuai yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat tentang BPJS Kesehatan sebelumnya, pada Selasa (27/8/2019).

“Jadi kalau kita nanti ke depan ada keseimbangan antara iuran dengan pengeluaran tentu concern kita akan lebih banyak kepada service, memastikan service ini lebih baik,” ujarnya.

Sebelumnya, Sri menyampaikan bahwa Kemenkeu menerima usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk meningkatkan iuran kelas 3 sebesar Rp42.000. Tetapi, untuk kelas 2 dan 3, Kemenkeu menyampaikan usulan lebih besar dari DJSN yakni masing-masing sebesar Rp110.000 dan Rp160.000. “Dan ini [kenaikan iuran] kita mulainya Januari 2020,” ujar Sri.

Sumber : Bisnis/JIBI

copy dari : solopos

Senin, 02 September 2019

Ketika IMF Mengakui Ekonomi Indonesia Ada Masaslah

Pesan Bank Dunia ke Jokowi: Perbaiki CAD

02 September 2019

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama sejumlah menteri Kabinet Kerja hari ini, Senin (2/9/2019) menerima delegasi Bank Dunia untuk Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Dalam pertemuan yang digelar secara tertutup itu, Bank Dunia dan pemerintah Indonesia membahas berbagai upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi eskalasi ekonomi global yang makin tak menentu.

"Kondisi ekonomi saat ini sedang melemah, risiko resesi pada ekonomi global meningkat, ada beberapa poin yang perlu diwaspadai," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves.

Rodrigo memandang, fundamental ekonomi makro Indonesia memang saat ini cukup solid terutama dari berbagai upaya pembangunan infrastruktur hingga menarik aliran investasi asing masuk ke Indonesia.

Namun, menurutnya, cara paling ampuh untuk menggenjot ekonomi di tengah ketidakpastian global adalah memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dengan penanaman modal asing.

"Cara itu paling baik untuk menambah modal juga memperbaiki aliran portofolio. Pemerintah perlu memberikan kredibilitas yang dibutuhkan dalam FDI. Aturan mainnya harus jelas, memenuhi aspek kepatuhan terhadap aturan yang berlaku," jelasnya.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berada sedikit di atas angka 5%, atau tak jauh berbeda dengan proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu.

"Tantangan tahun depan bakal tetap bergantung pada ekonomi global, komoditas ekspor impornya," tegasnya.


(dru)


https://www.cnbcindonesia.com/news/20190902135900-4-96503/pesan-bank-dunia-ke-jokowi-perbaiki-cad