Minggu, 29 September 2019

Tokohnya Diusir di PBB, Siapa yang Marah?

Tokoh Separatis Papua Benny Wenda Diusir dari Sidang Majelis Umum PBB


29 Sep 2019

New York - Tokoh separatis Papua Benny Wenda dikabarkan hadir di Markas PBB di New York pekan ini, di mana dirinya berniat menghadiri Sidang Majelis Umum PBB. Namun, kehadirannya justru berujung pada pengusiran --menurut laporan narasumber dan media.

Sebagaimana dilaporkan ABC Indonesia pada Kamis 26 September, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) bersama rombongannya hadir di Markas PBB New York sejak pertengahan pekan.

Di New York, Benny Wenda dikabarkan sibuk melobi agar komisioner HAM PBB dapat berkunjung ke Papua --lanjut ABC Indonesia.

Ia bahkan dikabarkan 'menebeng' delegasi Vanuatu untuk masuk ke dalam sesi Sidang Umum.

Vanuatu --yang sejak Desember 2014 merupakan tempat berdiri dan markas ULMWP-- merupakan satu-satunya negara anggota PBB yang mengangkat isu Papua di majelis tahun ini.

Namun, terkait hal tersebut, delegasi Indonesia di PBB telah menggunakan hak jawab (rights of reply) yang berisi kecaman dan meluruskan komentar yang dibuat oleh PM Vanuatu Charlot Salwai Tabimasmas.

Soal kehadirannya di New York, Benny Wenda mengatakan, "Pesan saya ke masyarakat internasional, kami sangat membutuhkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk masuk ke Papua," ujarnya dalam wawancara kepada stasiun TV SBS Australia.

Pemerintah Indonesia telah menuduh Benny Wenda berada di balik kerusuhan di Propinsi Papua dan Papua Barat yang meletus sejak Agustus lalu hingga saat ini --termasuk di Wamena pada 23 September yang menewaskan puluhan orang.


Diusir dari Majelis Umum PBB

Tokoh Papua Nick Messet memastikan, PBB tidak mengijinkan Benny Wenda dan rombongannya masuk ke ruang sidang PBB dan bergabung bersama delegasi Vanuatu karena yang bersangkutan bukan warga negara Vanuatu.

"Tidak benar Benny Wenda ikut dalam ruang sidang bersama delegasi Vanuatu karena PBB membuat aturan yang ketat dan hanya mengijinkan perwakilan negara yang masuk dalam ruang sidang di New York," kata Messet, seperti dilansir Antara, Minggu 29 September.

"Peraturan yang diterapkan PBB sangat ketat. Hanya warga negara yang bisa mewakili negaranya dan masuk dalam delegasi di Sidang Umum PBB," lanjut Messet

Nick Messet yang ikut dalam delegasi RI bersama Maikel Manufandu menegaskan, selain Benny Wenda, rekan-rekannya juga tidak diijinkan masuk untuk mengikuti sidang.

Messet mengaku, dirinya sendiri yang menjadi Konsul Kehormatan Republik Nauru di Jakarta tidak bisa mewakili negara tersebut, karena masih berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga, dalam Sidang Majelis Umum PBB, dirinya tergabung dalam delegasi Indonesia.


Kata Plt. Jubir Kemlu RI

Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI mengaku tak bisa berkomentar banyak soal isu tersebut.

"Saya tidak di New York, jadi kurang memahami kondisi di sana," ujar Teuku Faizasyah.

Namun ia menjelaskan ketatnya peraturan soal delegasi yang bisa masuk ke dalam ruang sidang majelis.

"Dari sisi aturan, untuk bisa hadir memang mengharuskan akreditasi, misalnya sebagai wakil negara. Kalau dia tidak bisa masuk, artinya dari sisi ketentuan mendasar saja, dia tidak memenuhi syarat," lanjutnya saat dihubungi pada Minggu 29 September 2019.


Meset: Tidak Ada Agenda Bahas Papua di PBB

Nick Meset menambahkan, dalam rangkaian agenda Sidang Majelis Umum PBB di New York pekan ini, "tidak ada agenda yang membicarakan soal Papua dan referendum," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

"Apa yang disebarkan oleh kelompok tersebut (ULMWP pimpinan Benny Wenda) tidak benar atau hoaks," lanjutnya.

Karena itu, dirinya berharap agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan isu yang diembuskan Benny Wenda dan kelompoknya, harap Meset yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri OPM, organisasi yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Menurut Nick Meset kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Papua akibat provokasi Benny Wenda .

"Apa yang selalu dikatakan masalah Papua akan dibahas di PBB itu lagu lama karena sebelumnya dirinya bersama rekan-rekannya sudah lakukan bertahun-tahun yang lalu, sebelum Benny Wenda melakukannya," kata Meset seraya mengajak agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan apa yang diungkapkan karena itu hanya janji palsu.

Mari bersama-sama ciptakan rasa aman agar pembangunan dapat terus dilakukan hingga masyarakat di Papua benar-benar sejahtera, ajak Nick Meset.

copy dari : liputan6.com





Indonesia Protes Vanuatu karena Menyelundupkan Separatis Papua ke PBB

01 Feb 2019

Seperti dikutip dari Antara (1/2/2019), Menlu Retno menjelaskan bahwa nota protes itu dikirim ke Port Vila karena "pemerintah Vanuatu tidak menghormati kedaulatan Republik Indonesia dengan mendukung gerakan separatis Papua."

Sebelumnya, muncul pemberitaan di beberapa media asing bahwa Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda mengklaim telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Tinggi Badan HAM PBB (Kantor KTHAM PBB), Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.

Dikabarkan bahwa Benny juga mengklaim berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018-- dan meminta PBB mengirim tim HAM ke Bumi Cendrawasih.

Namun, aktivitas Benny di badan HAM PBB itu dilakukan dengan 'menumpang' delegasi Vanuatu yang dipanggil oleh Dewan HAM PBB untuk membahas Universal Periodic Review (UPR) situasi HAM di negara Pasifik itu.

Mengomentari lebih lanjut soal sikap Vanuatu dan sepak terjang Benny Wenda, Menlu Retno mengatakan bahwa Ketua ULMWP itu memiliki pola riwayat "manipulatif dan fake news".

"Saya tidak bicara karena itu klaim dia. Pola Benny Wenda itu biasanya manipulatif dan fake news, jadi kami tidak bisa mengatakan apapun mengenai 1,8 juta (penandatangan petisi)," tambah Menlu Retno usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.

Menlu Retno juga tidak ingin berspekulasi mengenai petisi yang disebutnya tidak didasarkan pada maksud baik, karena diserahkan kepada KTHAM PBB Michelle Bachelet dalam pertemuan dengan delegasi Vanuatu.

Insiden tersebut bukan hanya mengejutkan Bachelet, tetapi juga menempatkannya pada situasi yang fait accompli (tidak dapat dihindari).

"Dari penjelasan KTHAM PBB, sudah jelas bahwa dia (Bachelet) merasa di-fait accompli dalam pertemuan tersebut, karena yang bersangkutan (Benny) berbicara mengenai Papua di akhir pertemuan," tambah Menlu Retno.


Bukan Pertama Kali

Ini bukan pertama kali Ketua ULMWP Benny Wenda mengklaim telah mengirim petisi seputar Papua ke PBB. Ia pernah melakukan hal serupa pada 2017 silam, mengirim petisi referendum kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24).

Namun, komite membantah pernah menerima petisi dari ULMWP.

"Saya maupun Sekretariat Komite C-24 tidak pernah menerima secara formal maupun informal petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam koran Guardian," kata Ketua Komite Rafael Ramirez dalam keterangan tertulis pada Jumat 29 September 2017, mereferensi surat kabar Inggris, The Guardian, yang merilis pemberitaan pertama tersebut dengan mengutip pernyataan Benny.

Ini juga bukan kali pertama Vanuatu menyuarakan seputar isu Papua di PBB. Salah satunya pada 2016 di Majelis Umum, ketika Vanuatu dan lima negara Pasifik melayangkan tuduhan pada Indonesia atas dugaan 'pelanggaran HAM' di Bumi Cendrawasih.

Kritik paling keras atas sikap Vanuatu datang dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada September 2018 di debat Sidang Majelis Umum Ke-73 PBB di Markas Besar PBB New York. Wapres mengatakan bahwa Port Vila telah "melakukan tindakan permusuhan" dan "melanggar prinsip-prinsip PBB" atas sikap mereka terhadap isu Papua di PBB.

copy dari : liputan6.com