Kamis, 06 Desember 2018

Demokrasi Kriminal Perlu Diganti Demokrasi Amanah



RR : Parpol Perlu Dibiayai Negara untuk Cegah Korupsi

Sabtu, 18 Juni 2016

Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menganjurkan pembiayaan partai politik oleh Negara untuk mencegah terjadinya praktik korupsi yang sudah membudaya di Indonesia. Menurut dia, upaya tersebut merupakan bagian dari reformasi sistem politik untuk membangun budaya antikorupsi.

“Harus ada reformasi dalam sistem politik kita. Terutama sistem pembiayaannya. Jadi kalau kita ingin perbaiki politik di Indonesia. Kita harus biayai parpol,” ujar Rizal dalam acara Konvensi Antikorupsi yang diselenggarakan Pemuda Muhammadiyah di Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat (17/6).

Menurut dia, Negara bisa menganggarkan uang sebanyak Rp 15 triliun yang dibagi secara adil kepada semua partai sesuai dengan perolehan suara. Penggunaan uang tersebut, kata dia cukup biaya operasional partai, biaya konsolidasi dan biaya pencalonan kadernya yang ingin menjadi ikut dalam pemilu.

“Namun perlu adanya pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Laporannya harus jelas dan diaudit, jika ada menyalahgunakan maka dikenakan hukuman. Dengan mekanisme ini, maka parpol tetap akan menjaga integeritas untuk memperjuangkan kepentingan rakyat,” tandas dia.

Rizal juga menceritakan terkait pola korupsi di Indonesia, mulai dari zaman Orde Baru sampai Orde Reformasi. Pada saat Orde Baru, kata dia korupsinya terkonsentrasi pada kekuasaan termasuk kroni-kroni dan keluarganya. Sementara, pada era reformasi di mana bangsa Indonesia menerapkan desentrasliasi kekuasaan, korupsinya juga ikut terdesentralisasi.

“Pada era sekarang, timbul banyak 'raja kecil' yang malah membuat korupsi semakin banyak. Statistiknya bikin malu kita. Bupati ratusan yang kena. Menteri, makin lama juga makin banyak. Begitu juga anggota dewan. Jadi korupsi berjamaah juga harus dilawan dengan berjamaah," pungkas dia.

Selain Rizal Ramli, Konvensi Antikorupsi dihadiri oleh sejumlah tokoh di antaranya Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil, Bupati Bojonegoro Suyoto, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, dan Calon Gubernur DKI Jakarta.

copy dari : beritasatu.com





 



 RR: Demokrasi Kita Demokrasi Kriminal


Senin, 2 April 2018

Ngobrol Politik Menuju Indonesia Emas

Medan, (Analisa). Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman era Kabinet Kerja Jokowi-JK, Rizal Ramli (RR) yang digadang-gadang sebagai calon presiden alternatif mengatakan, saat ini sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah sistem demokrasi kriminal. Politik uang menjadikan demokrasi kita sarat kepentingan kelompok dan golongan.

“Sekarang, kalau mau jadi anggota DPR harus siapkan uang minimal Rp20 miliar, kalau mau jadi bupati minimal Rp50 miliar, kalau mau jadi gubernur Rp100 miliar dan kalau mau presiden Rp1.000 miliar,” ujar RR dalam acara Ngobrol Politik “Menuju Indonesia Emas”, Sabtu (31/3) di salah satu kafe di Medan.

Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan itu di antaranya, Ketua PWI Sumatera Utara, H Hermansjah SE, Ketua KNPI Sumatera Utara, Sugiat Santoso dan Pengamat Politik USU, Faisal Mahrawa.

Ia menjelaskan, karena sistem demokrasinya adalah kriminal maka akhirnya banyak pejabat yang melakukan tindak kriminal. Hari ini, menurutnya, ada 300 dari 350 bupati masuk penjara, setengah dari gubernur yang ada di Indonesia masuk penjara, ratusan anggota DPR, DPRD masuk penjara.

“Itu artinya bukan lagi kasus orang per orang tetapi sudah sistemnya. Sistemnya harus dibenerin,” ujar mantan menteri yang dijuluki “Rajawali Ngepret” ini.

Pada 2019, kata RR, adalah momentum tepat bagi bangsa ini untuk keluar dari sistem demokrasi kriminal tersebut. Pilpres 2019 harus membuka kesempatan untuk menjadi demokrasi yang amanah.

“Pada 2019 nanti, kita harus ubah demokrasi kriminal menjadi demokrasi yang amanah,” ujar Rizal yang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden di Pilpres 2019.

Demokrasi amanah itu, lanjutnya, akan meninggalkan model penjajahan partai politik ala negara kapitalis, Amerika Serikat. Sehingga parpol tidak lagi dipaksa mencari uang dengan cara-cara tidak benar, seperti mengorupsi dana dari anggaran belanja negara dan daerah.

“Total colongan beramai-ramai itu Rp75 triliun. Hanya 10 persen yang disumbangkan ke partai politik, 90 persennya dibagi-bagi. Itu sebab anggota DPR-DPRD memiliki kemakmuran yang jauh lebih tinggi dari rakyat jelata,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Ketua PWI Sumut Hermansjah menegaskan, dalam politik praktis, pers selalu bersikap netral dan independen. Harus diakui bahwa pers di Sumatera Utara memang tidak seberdinamika seperti di pusat, namun kehadiran pers di Sumatera Utara tidak bisa dipandang sebelah mata.

“Kita mengapresiasi hadirnya tokoh seperti Rizal Ramli yang kemudian tenar dengan “ngepret”-nya. Meskipun pernah di lingkar kekuasaan, namun beliau tidak gentar untuk selalu melontarkan kritikannya. Saya kira itu bagus untuk memperkuat iklim demokrasi kita selama disampaikan secara baik dan sifatnya membangun,” ujarnya.

Koordinator Liputan (Korlip) Harian Analisa ini menegaskan, bahwa pers memiliki peran dalam mengawal sistem demokrasi yang sehat. Pers juga harus membangkitkan sikap optimisme agar publik tidak kehilangan harapan.

Acara yang diwarnai dengan guyuran hujan lebat itu turut dihadiri puluhan mahasiswa dan anak-anak muda dari berbagai organisasi seperti IMM, Ikatan Mahasiswa Pantai Barat, Getar, Turun Tangan, perwakilan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Utara, perwakilan Partai Golkar Sumatera Utara, Syamsir Pohan, pengamat politik Sohibul Anshor Siregar dan lain sebagainya. (br)

copy dari : harian.analisadaily.com