Jumat, 02 Juni 2017

Apakah saya tidak boleh curiga?

Apakah saya tidak boleh curiga?

Apa hanya saya yg baru sadar bahwa baru tahun ini 1 Juni menjadi hari libur nasional?

Iseng saya cek tahun lalu, betul tidak ada tanggal merah di 1 juni. Lalu saya cek tanggal 1 Oktober tidak ada tulisan hari kesaktian Pancasila seperti dulu, juga tidak pernah ada lagi upacara di 1 oktober di rezim Jokowi. Saya tanya apakah PNS upacara hr ini 1 Juni? Kebetulan yg saya tanya menjawab ya.

Kenapa rezim ini "seolah" ingin melupakan tanggal 1 oktober ? Hari dimana PKI tumbang setelah melakukan pembantaian yg sangat biadab di tanggal 30 September? Dan ditanggal 30 september tdk ada lagi pengibaran bendera setengah tiang maupun pemutaran film dokumenter. Seperti ingin menghapus ingatan rakyatnya tentang bahaya laten komunis. Seingat saya di rezim SBY sy masih ikut mengibarkan bendera 1/2 tiang.

Lalu baru saja saya baca tulisan pak Yusril Ihza Mahendra yg membuat saya membuka lagi catatan tentang lahirnya Pancasila, adalah benar yg disampaikan beliau bahwa Pancasila di gagas 1 Juni dan disahkan 18 Agustus. Well seperti layaknya bayi memang selalu dirayakan dan dikenang adalah saat dilahirkan bukan saat dibuat. Tapi ya sudahlah mgkn rezim ini lebih menyukai pancasila versi bapak Soekarno, yg isinya banyak perbedaan dari yg sekarang kita hafal, silahkan search sendiri biar tambah wawasan.

Namun adalah lumrah jika saya akhirnya menjadi curiga ada apa dgn rezim ini? Dan menjadi begitu ingin sekali bertanya kepada almarhum bapak Soekarno, pak jika seandainya bapak masih hidup dan melihat Indonesia sekarang, melihat kelakuan anak cucu bapak memimpin negeri ini, melihat partai anak bapak membuat kebijakan untuk negeri ini, apakah bapak akan bangga atau menyesal dan kecewa?

Hmmm... kalau dilihat dari senyumnya sih seperti ada tawa yg tertahan, tawa yg menutupi lara.

dicopy dari status akun Nina Khu di fb


Sementara itu dari hasil evaluasi RUU Terorisme yang diajukan Pemerintah oleh Pansus DPR :

video berasal dari akun youtube ISLAM AGAMA DAMAI



Kabarnya, :

Setahun Sebelum Memberontak, PKI Membuat Buku "Aidit Membela Pancasila"


2 Juni 2017

Gerakan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965 tak dapat dilepaskan dari peran salah satu tokoh bernama Aidit.

Menariknya Aidit pada tahun 1964 menulis sebuah buku dengan judul "Aidit Membela Panjtasila".

Dalam buku tersebut Aidit menuangkan pandanganya tentang Pancasila dan mencoba mengelabui publik Indonesia bahwa PKI seakan-akan menerima Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Aidit dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat.

"Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama.” ujar Aidit seperti dimuat di majalah Pembina pada 12 Agustus 1964.

Seiring perjalanan waktu, setahun kemudian tepatnya pada tahu 1965, PKI justru melakukan pemberontakan untuk mengganti ideologi Pancasila. Akibat pemberontakan tersebut telah mengorbankan nyawa rakyat tak berdosa.

Dengan meletusnya pemberontakan G30S PKI, maka klaim PKI sejalan dengan Pancasila dengan sendirinya tumbang.

Klaim sepihak PKI yang membela Pancasila merupakan salah satu gaya propaganda PKI untuk menarik simpatik publik kala itu dan meredam kecurigaan pihak-pihak yang menolak ideologi komunis.

tulisan dan gambar buku diambil dari : takbir.net