Didin Hafiduddin: Adat Sunda Itu Sesuai Islam Bukan Kepercayaan Mistik
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama
Indonesia (Wantim MUI) Pusat Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin mengatakan
bahwa Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dinilai telah salah menafsirkan
makna dari kearifan lokal.
“Kearifan lokal jangan diartikan dengan kebudayaan yang sempit.
Artinya jangan segala macam tradisi yang ada di suatu daerah
dimunculkan, padahal tradisi tersebut bertentangan dengan akidah maupun
syariah,” ujar Didin usai konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jalan
Proklamasi 51, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/11/2015) siang.
Menurut Didin, kearifan lokal sendiri itu lebih kepada bagaimana kita
berbuat, dan bertindak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Bukan masyarakat yang dipaksakan memiliki keyakinan tertentu
yang sudah jelas salah di dalam pandangan Islam.
“Makanya kita himbau kepada bupati Purwakarta untuk tidak mengartikan kearifan lokal seperti itu,” ujar Didin.
“Saya kira, yang selama ini kita lihat bukan adat Sunda yah. Adat
Sunda itu adat yang sesuai dengan Islam bukan kepercayaan yang bersifat
mistik,” imbuh Ketua Dekan Paska Sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor
ini.
Sebagaimana diketahui, sebelum ini Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi
banyak mendapat kritikan tokoh Islam karena kekeliruan menafsirkan
istilah ‘kearifan lokal’ dinilai kalangan ulama mencampur-adukkan
tradisi yang bertentangan dengan akidah.
Didin mengatakan seharusnya bupati memberikan kebebasan bagi warganya
yang mengkritisi kebijakan tradisi yang mengandung kesyirikan tersebut.
“Ketika masyarakat mengkritisi kebijakan pemerintahannya, saya pikir
itu sebuah kemajuan yang luar biasa. Tapi ketika masyarakat dibungkam
tidak boleh mengkritisi malah itu awal dari ketidak baikan,” tandas
Didin.
Seperti diketahui, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi berupaya
menghidupkan budaya ataupun tradisi yang dinilai publik banyak
mengandung kesyirikan dengan alasan kearifan lokal.
Sejak menjabat sebagai bupati, Dedi berusaha menghidupkan ajaran Sunda Wiwitan
yang dinilai banyak pihak lebih bernuansa klenik. Hal itu terbukti
dengan banyaknya patung-patung pewayangan yang dibangun Dedi. Selain
itu, juga pohon-pohon yang ada di Kota Purwakarta atas kebijakan Dedi
dihiasi dengan kain bermotif kotak hitam putih yang dinilai lebih mirip
budaya agama lain.*
copy dari : hidyatullah