Kamis, 27 Oktober 2016

Penetapan Tersangka Dahlan Iskan Karena Percayai Bawahannya

"... Bukan karena menerima sogokan, bukan karena menerima aliran dana, melainkan karena harus tanda tangan dokumen yang disiapkan anak buah"

Setelah Ditetapkan Jadi Tersangka, Dahlan Iskan Langsung Ditahan  

Kamis, 27 Oktober 2016 | 20:52 WIB

TEMPO.CO, Surabaya - Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan sebagai tersangka dan langsung menahannya pada Kamis, 27 Oktober 2016. Ia dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1.

Kasus yang melilit mantan Direktur Utama PT PLN ini terkait dengan penjualan 33 aset PT Panca Wira Usaha (PWU). "Ditetapkan tersangka hari ini dan ditahan terkait dengan perkara penjualan aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung," kata asisten intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Edy Birton, Kamis, 27 Oktober 2016.

Menurut Edy, Dahlan Iskan merupakan Direktur Utama PT PWU periode 2000-2010. Alasan penetapan tersangka adalah karena yang bersangkutan mengetahui dan menandatangani penjualan 33 aset badan usaha milik daerah (BUMD) Provinsi Jawa Timur itu. "Perannya selaku direktur utama," katanya. Edy mengaku belum bisa menyebutkan nilai kerugian karena masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP).

Adapun alasan penahanan, kata dia, agar tersangka tidak menghilangkan alat bukti, mempercepat proses pemeriksaan, dan diharapkan tidak mempengaruhi saksi. Edy lantas menegaskan penahanan dan penetapan tersangka Dahlan murni penegakan hukum, bukan muatan politik. "Sampai saat ini belum ada penangguhan penahanan dari tersangka," katanya.

Menanggapi status tersebut, Dahlan mengatakan merasa tidak bersalah. “Saya tidak kaget dengan penetapan sebagai tersangka dan ditahan karena, seperti Anda semua tahu, saya memang sedang diincar terus oleh yang lagi berkuasa," kata Dahlan.

Ia kemudian melanjutkan, "Biarlah sekali-kali terjadi seorang yang mengabdi dengan setulus hati, dengan menjadi direktur utama perusahaan daerah yang dulu seperti itu jeleknya, yang tanpa digaji 10 tahun, tanpa menerima fasilitas apa pun, dan harus menjadi tersangka yang bukan karena makan uang.Bukan karena menerima sogokan, bukan karena menerima aliran dana, melainkan karena harus tanda tangan dokumen yang disiapkan anak buah."

Sebelum mengakhiri penjelasannya, bos perusahaan media Jawa Pos Grup ini berkata, "Selebihnya, biar nanti penasihat hukum yang memberi keterangan." Setelah diperiksa, Dahlan langsung naik mobil untuk ditahan.

NUR HADI

cpoy dari : tempo.co


bukti apa untuk penetapan tersangka, Edy Birton mengaku bukti itu nanti akan dihadirkan dalam persidangan. "Nanti saja, bukti itu masalah teknis, disampaikan dan dihadirkan di persidangan,"

Penetapan Tersangka Dahlan Iskan Karena Menyetujui Pelepasan Aset

Laporan Bruriy Susanto | Kamis, 27 Oktober 2016 | 21:51 WIB

suarasurabaya.net - Edy Birton Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengatakan, Dahlan Iskan sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan aset PT Panca Wira Usaha, berupa tanah dan bangunan milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

"Pak Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka. Selaku Direktur Utama PT Panca Wira Usaha dianggap mengetahui, dan menyetujui pelepasan aset PWU di Kediri dan Tulungagung," kata Edy Birton, Kamis (27/10/2016).

Penetapan tersangka berdasarkan fakta dari penyidik yang menemukan penyimpangan dalam pelepasan aset di tahun 2003. Dimana saat itu Dahlan Iskan menjabat sebagai Direktur Utama di PT PWU tahun 2000 hingga 2010.

Saat disinggung mengenai bukti apa untuk penetapan tersangka, Edy Birton mengaku bukti itu nanti akan dihadirkan dalam persidangan. "Nanti saja, bukti itu masalah teknis, disampaikan dan dihadirkan di persidangan," ujar dia.

Sementara, untuk penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut, Dahlan Iskan ditahan selama 20 hari kedepan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Surabaya, Kelurahan Medaeng Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

Perlu diketahui, Dahlan Iskan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi penjualan aset PT Panca Wira Usaha karena pernah menjadi sebagai Direktur Utama di perusahaan milik Pemerintah Daerah Provinsi Jatim tahun 2000 hingga 2010.

Ada dua aset, yang dinilai bermasalah di tahun 2003, yakni Kediri dan Tulungagung. Dari pelepasan aset itu, penyidik awalnya menetapkan Wisnu Wardhana mantan Kepala DPRD Kota Surabaya.

Saat pelepasan aset, Wisnu Wardhana sebagai Kepala Biro Aset PT PWU. Setelah dilakukan pemeriksaan, berkembang dengan menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka. (bry/rst)

Editor: Restu Indah

Copy dari : suara surabaya

Lihat arsip berita  >>> Wisnu Wardhana

Arsip Berita : Wisnu Wardhana dan Penurunan Risma Walikota Surabya

Indonetwork

Konflik Wali Kota dengan DPRD Surabaya

Selasa, 01 Februari 2011

Terpantau media sejak akhir 2010 lalu, hubungan antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan DPRD setempat semakin tegang. Entah di mana puncaknya. Namun sekarang, dukung-mendukung menggunakan massa  sudah terjadi di kota terbesar kedua di Indonesia ini.

Pada Rabu, 8 Desember 2010 lalu, DPRD Surabaya menggelar rapat paripurna, dengan agenda tunggal interpelasi terhadap Wali Kota Surabaya tentang kenaikan pajak reklame. Namun, beberapa kali mikrofon di ruang sidang mati.

Mikrofon di depan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ikut beberapa kali mati. Hal itu juga dialami anggota DPRD Surabaya dari PKS, Reni Astuti. Akibatnya, Reni tidak dapat mengajukan interupsi.

Reni terang-terangan menentang usulan interpelasi, antara lain dipelopori oleh anggota DPRD yang pernah menjadi direktur perusahaan reklame, Simon Lekatompessy. Perusahaan yang dipimpin Simon termasuk terkena kenaikan paling drastis.

Selain di tempat Reni, mikrofon di depan beberapa anggota DPRD lain juga mati. Beberapa anggota DPRD menyatakan heran mikrofon bisa mati. "Sebelumnya tidak pernah seperti ini," ujar anggota DPRD Sachiroel Alim.

***

Urusan pajak reklame inil adaah salah satu pemercik yang membesarkan kobaran api konflik antara eksekutif dan legislatif di Surabaya. Benturan kepentingan memang menjadi pemicu yang paling cepat menyulut.

Dalam rapat itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menantang anggota DPRD Surabaya melakukan sumpah. Ini adalah reaksi karena Anggota DPRD Sachiroel Alim dan Eddy Budhie Prabowo berkali-kali menuding Risma melakukan konspirasi terkait kenaikan pajak reklame.

Sachiroel menuding Risma menaikkan pajak karena ingin menghabisi biro reklame lain dan hanya biro reklame tertentu saja bisa membayar pajak. Sementara Eddy menuding penaikan itu agar pemasang iklan berpromosi pada media cetak dan radio tertentu saja.

Menanggapi itu, Risma menyatakan siap disumpah dengan cara apa saja untuk membuktikan tidak ada konspirasi. "Demi Allah, demi tuhan, saya tidak ada melakukan konspirasi apapun," tandasnya.

Sementara Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana mengatakan, Risma jangan dulu membawa-bawa Tuhan dalam rapat itu. Risma diminta fokus pada hubungan sesama manusia saja.

Pernyataan Whisnu memancing reaksi Reni Astuti. Reni menyesalkan pernyataan itu disampaikan oleh pimpinan DPRD. Menanggapi itu, Whisnu malah mengancam akan mengeluarkan Reni dari ruang sidang. Alasannya, Reni sudah diingatkan dua kali agar tidak interupsi.

Dampak lain konflik itu, pengesahan APBD Kota Surabaya pun terbengkalai. Lantas Gubernur Jawa Timur Soekarwo memanggil Tri Rismaharini serta Wisnu Wardhana di rumah dinas Gubernur Jalan Imam Bonjol Surabaya, Selasa (25/1) sore.

Dalam pertemuan tertutup yang dimulai pukul 14.30 hingga pukul 15.30 itu, Gubernur secara langsung mendesak kepada Wali Kota dan Ketua DPRD segera menyelesaikan pembahasan APBD Surabaya yang hingga saat ini terkatung-katung akibat konflik politik yang sedang berkembang di Surabaya.

"APBD itu masalah dasar pembangunan, jangan sampai perseteruan antara DPRD dan Wali Kota membuat pembahasan APBD molor terus," kata Gubernur Soekarwo usai pertemuan tertutup.

Sayangnya, dalam pertemuan ini, Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana tidak datang dan hanya Wali Kota Surabaya didampingi wakilnya Bambang DH dan Sekretaris Kota Surabaya Soekamto Hadi yang hadir. Gubernur sendiri didampingi Ketua DPRD Jawa Timur Imam Soenardi. Gubernur berharap pembahasan APBD segera dilanjutkan.

Baik Tri Rismaharini, Bambang DH maupun Soekamto Hadi tidak bersedia berkomentar seusai acara. Wisnu sendiri tidak datang karena di waktu yang sama sedang berada di Polda Jawa Timur untuk melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Tri Rismaharini.

Sekadar diketahui, perseteruan politik di Surabaya antara DPRD dan Wali Kota saat ini berujung pada hak angket. Bahkan belakangan Wali Kota dilaporkan ke polisi karena berbicara di media bahwa setiap kegiatan di DPRD Wali Kota harus mengeluarkan sejumlah uang pelicin.

Ketua DPRD Jawa Timur Imam Soenardi juga minta perseteruan politik di Surabaya segera diakhiri. "Sebagai sesama orang Demokrat (ketua DPRD Surabaya Wisnu juga dari Fraksi Demokrat) saya akan minta bantuan DPP Demokrat untuk membantu mendamaikan Surabaya," kata Imam Soenardi.

***

Belakangan DPRD akhirnya benar-benar merekomendasikan pelengseran Tri Rismaharini dari kursi wali kota ke Mahkamah Agung. Rekomendasi ini diambil dalam rapat paripurna Hak Angket Perwali 56 dan 57 tentang Tarif Reklame di hari tutup tahun lalu.

Dalam rapat tersebut, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang tidak mau menandatangani kesepakatan pelengseran. Sementara, persetujuan datang dari Fraksi PDIP yang ditandatangani Agustin Poliana; Fraksi PKB oleh Masduki Toha; Fraksi Partai Damai Sejahtera diteken Simon Lekatopmessy; Fraksi Golkar ditandatangani Adies Kadir; Fraksi Apkindo diteken Sudirjo dan Fraksi Demokrat oleh Sachiroel Alim.

Meski hingga pukul 12.00 WIB, rapat paripurna hak angket Perwali Reklame belum usai digelar, Pansus satu kata terkait rekomendasi pelengseran. “Melihat hasil hak angket Perwali nomor 56 dan 57 tentang reklame, Pansus memutuskan ada pelanggaran. Kami juga sepakat merekomendasikan Risma untuk dinonaktifkan,” ujar Ketua Pansus Angket, Sachiroel Alim di sela rapat paripurna Hak Angket Perwali Reklame di gedung DPRD Surabaya, Senin 31 Januari 2011.

Toh rekomendasi pelanggaran aturan atau hukum ini penentuannya ada di Mahkamah Agung. DPRD Surabaya hanya menjalankan tugas pokok dan fungsinya saja yaitu menggelar hak angket dan melaporkan hasilnya.

Hak Angket DPRD Surabaya tentang Perwali 56 dan 57, kata dia, sudah dikonsultasikan dengan Konsultan Hukum DPRD Surabaya dan berdasarkan UU No 28/2009 pasal 28 ayat 1 menyebutkan, kebijakan yang meresahkan masyarakat meski hanya sekelompok masyarakat tetap dianggap melanggar UU. Jadi sekalipun sekelompok masyarakat itu pengusaha kecil atau besar, mereka yang dirugikan.

Simon Lekatompessy anggota Komisi C DPRD Surabaya dari Fraksi Partai Damai Sejahtera menjelaskan, DPRD Surabaya hanya mengusulkan Hak Angket Perwali 56 dan 57. Apakah dari hasil Hak Angket tersebut ada pelanggaran atau tidak, keputusannya ada di Mahkamah Agung.

Untuk diketahui dalam rapat paripurna tersebut masing-masing fraksi memberikan pandangan umum terkait Perwali 56 dan 57. Terkait dengan ini, kata Simon, sebelum dibentuk Hak Angket, DPRD Surabaya sudah melakukan hak interpelasi. Dari hasil pemeriksaan masing-masing pejabat tidak ditemukan garis lurus yang artinya ada jalur koordinasi yang putus.

Kini pendukung dan penentang Wali Kota silih berganti meramaikan suasana Surabaya. Gerakan Rakyat Surabaya (GRS) yang terdiri dari forum ketua RT dan RW se-Surabaya, misalnya, menyayangkan keputusan Dewan untuk menurunkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Karenanya, GRS mengancam akan membela apa pun yang terjadi pada Wali Kota Surabaya. "Kita akan aksi pada Rabu (9/2) nanti. Targetnya kita akan duduki DPRD supaya membatalkan keputusan memundurkan Wali Kota," kata Koordinator GRS, Mat Muktar, Senin (31/1).

Menurut Muktar, Wali Kota Surabaya telah dipilih secara langsung melalui pilkada yang sangat demokratis. Karena itu, hanya rakyat yang bisa menurunkan Wali Kota. "DPRD hanya mengatasnamakan rakyat. Mereka itu sebenarnya pengangguran yang kebetulan menjadi anggota Dewan," imbuh Muktar.

Menurut Muktar, agenda menurunkan Wali Kota merupakan [I]setting[/I] dari partai tertentu yang ujung-ujungnya untuk mengangkat salah satu pentolan partai itu menjabat Wali Kota menggantikan Tri Rismaharini.

"Saya itu dulu kader PDI-P, tapi sekarang muak. Wisnu Sakti (wakil ketua DPRD dari PDI-P) yang [I]nyeting[/I] ini semua, tujuannya supaya dia bisa menggantikan jadi Wali Kota," kata Muktar.

Sebab itu, selain mendukung Tri Rismaharini, unjuk rasa yang digelar pada Rabu 9 Februari mendatang juga akan menuntut Wisnu Sakti Buana maupun Wisnu Wardhana (ketua DPRD) untuk turun jabatan. Unjuk rasa sendiri nantinya akan diikuti oleh 5.000 massa dari seluruh RT dan RW di Surabaya.

Di sisi lain Wisnu Sakti Buana  membantah jika aksi penurunan Tri Risma merupakan [I]setting[/I] dari PDI-P. "PDI-P itu yang mengusung Bu Risma. Kalau kami ingin dia mundur, itu lebih karena Bu Risma telah ingkar janji untuk sejahterakan rakyat," kata Wisnu Sakti.

Sebenarnyaa Risma sudah melunak hendak mencabut Perwali soal Reklame sesuai petunjuk Gubernur Jatim Soekarwo. Namun, kalangan DPRD tetap mengancam dengan hak angket.

Tambahan pula DPRD, malah mengancam dengan hak angket untuk masalah Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas). Sudah muncul pula suara jika Risma tetap menolak tol tengah kota Surabaya, hak angket akan menjadi senjata DPRD lagi. Melihat serangan bertubi-tubi ini, tampaknya banyak benturan kepentingan di sini, terlepas alamiah maupun rekayasa.

***

Maka, masuk akal belaka jika kelakuan DPRD Surabaya ini bertujuan melengserkan Risma di tengah jalan, melawan semangat demokrasi dengan oligarki sekelompok kecil elite politik lokal. Istilah [I]arek suroboyo: Risma arep di-Cak Narto-ke[/I] (hendak di-Cak Narto-kan), merujuk pada Wali Kota Surabaya 2000-2005. Kolonel H Sunarto Sumoprawiro.

Karir Wali Kota Sunarto berakhir tragis. Dia sakit dan diberhentikan oleh DPRD Kota Surabaya sebagai wali kota dan diganti wakilnya Bambang DH. Banyak lawan politik Bambang menduga, ada upaya merancang penggulingan Cak Narto dengan momen sakit dan menutup LPA Keputih sehingga Surabaya menjadi tidak terurus dan penuh sampah.

Sejak Juni 2002, Bambang diangkat sebagai Wali kota untuk menghabiskan sisa masa bakti pasangan Narto-Bambang hingga 2005. Kini Bambang pula yang menjadi Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Tri Rismaharini. Jadi?

Tunggu saja kelanjutannya!!!

copy dari : indonetwork.com


Rabu, 26 Oktober 2016

Ahok Sindir Mendagri Tjahjo Kumolo Terkait PLT !

Calon petahana di Pilgub DKI Basuki T Purnama seolah tak rela meninggalkan jabatannya sebagai orang nomor 1 di DKI karena harus cuti selama masa kampanye. Tak ikhlasnya Ahok harus cuti bukan lain karena adanya jadwal pengesahan RAPBD DKI, yang harus diketok bertepatan dengan proses kampanye Pilgub DKI 2017.

Saking tak maunya cuti, Ahok bahkan sempat menggugat aturan kewajiban cuti dalam UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun akhirnya Ahok memilih cuti juga, serah terima jabatan gubernur DKI akan dilakukan pada Jumat (28/10) kepada pejabat eselon satu di Kemendagri.
Ahok hingga kini masih tak habis pikir ada aturan petahana wajib cuti kampanye. Terlebih, Kemendagri memperbolehkan seorang pejabat Plt mengambil kebijakan sangat penting seperti menandatangani pengesahan RAPBD. Karena kesal, Ahok bahkan tak tanggung-tanggung mengeluarkan komentar pedas buat Mendagri Tjahjo Kumolo.
"Pertama kali dalam sejarah Republik ini, kita Plt nya jabat seperti Pjs (pejabat sementara) dari Kemendagri. Gak pernah kejadian di Republik ini seperti hari ini. Ini pertama kali kejadian di Republik ini kaya begini," katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (25/10).
Berdasarkan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 berbunyi Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Sehingga dia beranggapan Plt tidak dapat menandatangani APBD tersebut.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menegaskan Plt Gubernur DKI Jakarta pengganti Basuki T Purnama ( Ahok) bisa menandatangani anggaran. Sehingga bisa dipastikan tidak ada masalah dalam menjalankan kebijakan nantinya.
"Plt punya hak yang sama (dengan gubernur) Plt Ahok bisa menandatangani APBD. Semua ada payung hukumnya," kata Tjahjo Kumolo di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/10).
Rencananya, kata Tjahjo, Kementerian Dalam Negeri akan melantik pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta pada hari Rabu 26 Oktober 2016. "Hari Rabu saya akan lantik (Plt Gubernur DKI Jakarta)," ungkapnya.
Menurut Tjahjo, pengganti tugas Gubernur DKI Jakarta, yakni PNS dari kalangan eselon 1 dan memiliki pengalaman dalam bidangnya. "Pertimbangan adalah eselon 1 yang punya track record selam ini sudah berpengalaman dari bawah dan berkarya dari bawah dan memahami mengenai otonomi, keuangan daerah, kesekretariatan daerah," terang Tjahjo.
Nantinya, kata Tjahjo, Plt yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri bertugas untuk melaksanakan Pilgub DKI dengan sukses dan aman. Kedua melakukan tata kelola pemerintah DKI agar berjalan dengan baik.
"Hubungan pemerintah pusat dan DKI dalam rangka melaksanakan otonalisasi penyerapan anggaran dan program kerja berjalan dengan baik," terangnya. (ma)

copy dari : tajukindonesia.com

Minggu, 16 Oktober 2016

Kaskus Ditinggal Ken

 

 Kaskus Ditinggal Perintisnya, Ken Dean Lawadinata

15 Oktober 2016

Ken Dean Lawadinata telah resmi mengundurkan diri dari posisinya sebagai chairman PT Darta Media Indonesia, pengelola situs Kaskus. Saham yang dipegang Ken pun telah seluruhnya dikembalikan pada GDP Ventures...
----
Selepas dari Kaskus, Ken mengaku tidak berminat untuk berinvestasi di perusahaan IT lagi. Sebagai gantinya, dia sedang melirik investasi bidang properti dan komoditas seperti tambang, kayu dan lain-lain...
----
Dia mengakui bahwa bisnis atau industri IT di Indonesia masih terus berkembang. Ada banyak permintaan dan ide-ide baru yang terus menetas. Sayangnya, menurut Ken, risiko di bidang IT masa kini justru terlalu tinggi...
-----
saat ini Ken memiliki dua perusahaan IT, yaitu Smartmama yang bergerak menyajikan konten khusus untuk ibu dan Tororo yang bergerak dalam penjualan online soal kebutuhan bayi.
----
Andrew yang saat ini berperan sebagai Chief Commercial Officer Kaskus menyatakan terima kasih atas dedikasi Ken membesarkan Kaskus. Dia juga memastikan pengunduran diri tersebut tidak mengganggu kinerja perusahaan.

“Ken adalah orang yang bersemangat dan optimistis dalam menjalankan Kaskus. Pengunduran diri Ken tidak akan berdampak langsung terhadap operasional perusahaan. Kaskus akan fokus pada misi menjadi social commerce platform terbesar Indonesia,” terang Andrew.

selengkapnya silahkan : tekno.kompas.com

Minggu, 02 Oktober 2016

Unbiased, Open Research (on Homosexuality) Was Never Done

Former president of APA says organization controlled by ‘gay rights’ movement




Dr. Nicholas Cummings in interview | link from youtube.com - Unbiased, Open Research (on Homosexuality) Was Never Done.

June 6, 2012 (LifeSiteNews.com) - A former president of the American Psychological Association (APA), who also introduced the motion to declassify homosexuality as a mental illness in 1975, says that the APA has been taken over by “ultraliberals” beholden to the “gay rights movement,” who refuse to allow an open debate on reparative therapy for homosexuality.

Dr. Nicholas Cummings was President of the APA from 1979 to 1980, and also served as a member of the organization’s Council of Representatives. He served for years as Chief of Mental Health with the Kaiser-Permanente Health Maintenance Organization, and is the author of the book “Destructive Trends in Mental Health: The Well-Intentioned Path to Harm.”

In an interview with representatives of the National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) in late April, Cummings said that the organization’s problems began with the rejection of the Leona Tyler Principle, which required that all public positions of the APA be supported by scientific evidence.

The APA “started changing pretty drastically by the late 1980s,” said Cummings.  “By the mid 1990s, the Leona Tyler principle was absolutely forgotten, that political stances seemed to override any scientific results. Cherry-picking results became the mode. The gay rights movement sort of captured the APA.”

Cummings says that the movement for “diversity” in the APA, which he endorsed, had resulted in a lack of diversity regarding heterosexuals.

“If I had to choose now, I would see a need to form an organization that would recruit straight white males, which are underrepresented today in the APA,” he said.

Cummings says that he personally is not in opposition to the homosexual movement, including gay “marriage,” pointing out that he was the author of the motion to strike homosexuality from the APA’s list of mental illnesses. However, he is distressed at the loss of scientific objectivity at the organization.

“The first time it came up, and I was a member of [the] Council, this would have been, oh, 1975, because I remember that that’s when I made the resolution,” Cummings said. “I made the resolution that being gay was not a mental illness, that it was characterological. And it passed the Council of Representatives. And that was the first issue that came up. I also said with that, that the APA, if it passes this resolution, will also vote to continue research that demonstrates whatever the research demonstrates. Unbiased, open research. It was never done.”

In a second, briefer interview with NARTH on the same day, Cummings recalls his own work with homosexuals who wanted to leave the gay lifestyle during his tenure at Kaiser Permanente.

“It’s a difficult therapy, and it’s not huge in terms of numbers, but yes we have seen success, and this is why the stance that ‘you can never change’—Ronald Reagan said ‘never say never’—it’s absurd. All you have to do is find one exception and it knocks down the ‘never.’ But yes, I’ve experienced more than one exception,” said Cummings.

“Admittedly we had failures. The recidivism along the way with some would be intense, but we experience the same thing with treating substance abuse and alcoholism. Falling off the wagon is part of the treatment.”

Cummings’s position as a past president of the APA and as the author of the motion to remove homosexuality from the organization’s list of mental illnesses, parallels that of Dr. Robert Spitzer, past president of the American Psychiatric Association, who led the efforts there to declassify homosexuality as a mental illness two years earlier.  Spitzer also became critical of the American Psychiatric Association in the following decades and authored a study in 2000 indicating that “highly motivated” homosexuals could be successful in altering their sexual preferences through reparative therapy.

Although Spitzer recently repudiated his study, which was published in the peer-reviewed Archives of Sexual Behavior in 2002, after years of pressure from homosexual activists, Cummings has never retracted his endorsement of the view that homosexuals can sometimes change.

www.lifesitenews.com/news/former-president-of-apa-says-organization-controlled-by-gay-rights-movement