Sabtu, 25 Maret 2023

Keputusan Megawati Berakibat Fatal


Kasus BLBI, Kwik Kian Gie: Keputusan Megawati Berakibat Fatal

Kamis, 5 Juli 2018

TEMPO.CO, Jakarta - Kwik Kian Gie menyinggung nama Megawati Sukarnoputri dalam sidang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau kasus BLBI. Mantan Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Megawati ketika menjadi presiden berakibat fatal.

Inpres ini, kata Kwik, menjadi dasar terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL).  “SKL sangat berbahaya dan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar," kata Kwik Kian Gie saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi BLBI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 5 Juli 2018. Kwik bersaksi untuk terdakwa eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Syafruddin telah merugikan negara Rp 4,58 triliun lewat penerbitan SKL. KPK menganggap surat lunas ini menguntungkan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Inpres R&D yang diteken Megawati pada 30 Desember 2002. Surat tersebut memberi jaminan pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para konglomerat yang dianggap telah melunasi utang BLBI.

Berdasarkan inpres tersebut, para debitor penerima BLBI dianggap sudah menuntaskan utangnya walaupun hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Berpijak pada bukti itulah para debitor yang kasusnya dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara.

Pada saat pembahasan Inpres tersebut, Kwik menjabat Kepala Bappenas dan mantan pejabat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Kwik mengatakan bolak-balik menentang kebijakan Megawati yang ingin menerbitkan Inpres soal BLBI. "Dua kali saya menggagalkan rencana itu, tapi dalam rapat ketiga saya kalah," kata Kwik Kian Gie.

Menurut Kwik, ada tiga kali rapat membahas rencana terbitnya Inpres yang berujung pada SKL. Kwik kemudian meminta jaksa membacakan keterangannya sesuai dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Menurut BAP yang kemudian dibacakan jaksa, rapat pertama dilakukan di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Rapat itu berlangsung pada 2002.

Jaksa kasus BLBI menyebutkan dalam rapat itu hadir Menteri Koordinator Perekonomian Dorojatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi dan Jaksa Agung MA Rahman. Dalam rapat itu dibahas rencana menerbitkan SKL untuk para obligor yang dianggap kooperatif.

Kwik mengatakan dalam BAP-nya, Kooperatif yang dimaksud dalam rapat tersebut adalah pengusaha yang mau diajak bicara dan bertemu. Kwik menolak proposal tersebut. Menurut dia, obligor yang berhak mendapat SKL adalah mereka yang telah melunasi utangnya. "Untuk saya yang dinamakan kooperatif belum tentu menyelesaikan masalah, karena obligor bisa pura-pura kooperatif, tetapi de facto tidak pernah membayar."

Selain itu, Kwik Kian Gie berargumen pertemuan di Teuku Umar bukan rapat kabinet yang sah karena tak ada undangan tertulis dan tidak dilakukan di Istana Negara. "Megawati selaku presiden kemudian membatalkan kesepakatan di Teuku Umar tersebut," kata jaksa kasus BLBI membacakan BAP.

Jaksa menyatakan rapat kedua kemudian berlangsung di Istana Negara. Rapat itu kembali dihadiri pejabat yang datang pada saat rapat di Teuku Umar. Kwik Kian Gie kembali menolak usulan penerbitan SKL dalam rapat itu. "Presiden kembali tidak mengambil sikap," kata jaksa.

Jaksa penunutut umum KPK dalam sidang kasus BLBI menuturkan untuk ketiga kalinya rapat pembahasan penerbitan SKL BLBI kembali berlangsung di Istana Negara. Dalam rapat ketiga itu, Kwik lagi-lagi menolak usulan penerbitan SKL BLBI. Namun, dalam pertemuan ketiga ini Kwik mengaku keok. Megawati akhirnya menyepakati mengeluarkan SKL untuk para obligor yang dianggap kooperatif. “Seperti total football, semua menteri menghantam saya,” kata Kwik.

copy dari tempo


Sejarah Kasus BLBI dan Mega Skandal di Belakangnya

Oleh Intan Nirmala Sari
24 September 2021

Heboh dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI kembali menyita perhatian publik setelah lebih dari dua puluh tahun kasus ini terpendam. Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI alias Satgas BLBI, atas perintah Presiden Joko Widodo- hanya memiliki tenggat hingga Desember 2023 untuk memburu 48 obligor dan debitur dana BLBI.

Upaya pemerintah untuk menyelesaikan skandal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 mengenai Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI yang disahkan pada 6 April 2021. Dalam dua tahun mendatang, Satgas mesti bisa mengeksekusi utang Rp 110,45 triliun dari para obligor tersebut.

Rinciannya, Rp 84,8 triliun diselewengkan dari dana yang disalurkan Bank Indonesia kepada perbankan. Pada tahap penggunaan rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blank guarantee) yang merupakan rekening pemerintah, diselewengkan Rp 17,76 triliun. Selanjutnya penyelewengan pada tahap penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan sebanyak Rp 431,6 triliun, dan pembayaran bunga Rp 600 triliun.

Inilah yang dalam buku “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” karya Agus Pandoman dihitung sebagai potensi total kerugian negara. Dampaknya, beban utang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun, dan Rp 50 triliun harus dilakukan hingga 2021.

Berawal dari Upaya Penyelamatan

Kasus BLBI lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada 1998. Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari melemahnya rupiah ke level 15.000 per dolar Amerika kala itu. Pelemahan mata uang Garuda terhadap greenback secara signi¨kan menyebabkan aksi penarikan uang berjamaah di bankbank Tanah Air pada 1997. Alhasil, tidak butuh waktu lama likuiditas di perbankan Tanah Air ikut terkuras dan berujung pada kredit perbankan macet. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat menanggung beban bersama lewat skema bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis. Kemudian, pada Desember 1998, BI mengguyur bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp 144,53 triliun.

Namun, pada 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI. Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI tersebut.

Berbuntut Aksi Penyelewengan Massal

Kasus semakin memanas pada 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Instruksi tersebut mengenai pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban maupun yang mangkir dari kewajibannya.

Berdasarkan kebijakan tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga ditugaskan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk bank yang membereskan utangnya. Sedangkan mereka yang belum membayarkan kewajibannya akan dikenakan sanksi. Ada 12 debitur yang menerima SKL di masa pemerintahan Megawati.

Lahirnya Inpres menyimpan banyak kejanggalan dengan indikasi personal approach oleh para debitor terhadap pemerintahan masa itu. Para debitor tersebut di antaranya Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Nin King (Bank Danahutama), dan Ibrahim Risjad (Bank RSI).

Lalu ada Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (Bank BCA), Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya), dan Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade). Pengusaha selanjutnya ykani Philip S. Widjaja (Bank Mashill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), serta Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia).

Beberapa bankir lain yang terindikasi menyelewengkan dana BLBI pun diburu dan diseret ke meja hijau. Sejumlah mantan direktur Bank Indonesia seperti Hendro Budiyanto, Paul Soetopo Tjokronegoro, dan Heru Supratomo menjadi terpidana kasus korupsi tersebut.

Sejumlah obligor juga tercatat melarikan diri saat dipidana, seperti Direktur Bank Pelita Agus Anwar dan Alexander. Ada juga Direktur Bank Indonesia Raya atau Bank Bira, Atang Latif.

Selanjutnya, ada juga terpidana seumur hidup untuk kasus penyelewengan dana BLBI. Hukuman tersebut jatuh pada Hendra Rahardja, yang kemudian meninggal ketika melarikan diri ke Australia. Dia terbukti bersalah dan diketahui melakukan penggelapan dana sebesar Rp 2,65 triliun.

Sederet nama dari penerima dana pun diduga bersalah terhadap dugaan penyelewengan BLBI, namun banyak kasus yang akhirnya terhenti lantaran pemberian SP3 (Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara) oleh pihak berwenang.

Pada September 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan ketersediaannya untuk membantu mengusut kembali skandal korupsi tersebut. Hingga 2013, KPK mulai melakukan penyidikan terhadap proses pemberian SKL pada penerimanya.

Pada 2004 pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim berhasil mendapatkan SKL oleh BPPN. Namun, setelah diusut KPK, terdapat dugaan kerja sama antara Sjamsul dengan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, Syafruddin kemudian dijatuhi vonis 13 tahun penjara di pengadilan, karena dianggap merugikan negara dalam upayanya membantu Sjamsul menggelapkan Rp 4,5 triliun.

Syafrudin bersama kuasa hukumnya mengajukan banding pada 2018, namun dia malah mendapat penambahan vonis dua tahun penjara oleh pengadilan. Hingga 2019, Syafruddin dibebaskan melalui keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasinya.

Sementara itu, Sjamsul dan Istrinya, Itjih Nursalim ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2019. Mereka kabur ke Singapura dan berstatus buron alias masuk ke dalam da¬ar pencarian orang lantaran tidak mau diajak bekerja sama oleh pihak berwenang. Namun pada 2021, KPK menghentikan penyidikan kasus Sjamsul dan Itjih dengan menerbitkan SP3. Hal ini menuai kritik terhadap KPK karena berhenti mengusut kasus korupsi sebesar Rp 4,58 triliun itu.

Mantan Pimpinan KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa keputusan penghentian penyidikan ini justru menggadaikan janji pimpinan KPK terdahulu, untuk membasmi tuntas kerugian keuangan negara dalam kasus penyelewengan dana BLBI tersebut.

KPK dikabarkan menutup penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih dengan alasan kepastian hukum lantaran Syafruddin, sebelumnya telah divonis bebas oleh MA dengan pengajuan kasasi. 
 
Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)

copy dari katadata

Pemerintah Tanggung Beban Utang BLBI Rp 105,45 Triliun

Nilai Obligasi Penjaminan PemerintahTerkait Pemberian BLBI
(26 Agt 2021)
Krisis ekonomi Indonesia telah berlalu lebih dari 20 tahun silam. Namun, krisis yang terjadi pada 1997-1998 tersebut masih memberikan beban kepada pemerintah hingga saat ini. Pemerintah masih menanggung utang dan bunga kepada bank sentral terkait penjaminan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diberikan kepada para pengusaha dan perbankan yang mengalami kesulitan dalam menghadapi krisis moneter kala itu.

Dalam laporan posisi Surat Berharga Negara (SBN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan disebutkan obligasi atau surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah terkait pemberian BLBI senilai Rp 105,45 triliun per 26 Agustus 2021.

Rinciannya, obligasi dengan seri SRBI01 sebesar Rp 48,45 triliun, diterbitkan pada 7 Agustus 2003 dan akan jatuh tempo pada 1 Agustus 2043. Seri SRBI 01 ini merupakan pengganti dari seri SU001 dan SU003.

SRBI01 tersebut awalnya memiliki pokok utang sebesar Rp144,5 triliun ketika diterbitkan pada 2003. Utang pokok tersebut sebagian telah dilunasi dari dana surplus keuangan BI.

Berikutnya, seri SU002 Rp 8,29 triliun yang diterbitkan pada 23 Oktober 1998 dan akan jatuh tempo pada 1 April 2025.  Seri SU004 dengan nilai Rp 24,19 triliun, diterbitkan pada 28 Mei 1999 dan akan jatuh tempo pada 1 Desember 2025. Serta seri SU007 dengan nilai Rp 21,02 triliun, diterbitkan pada 1 Januari 2006 dan jatuh tempo pada 1 Agustus 2025.

Keempat seri obligasi penjamninan pemberian BLBI tersebut memiliki bunga 0,01% per tahun, lebih rendah dari bunga obligasi pemerintah pada umumnya dan tidak diperdagangkan.