Rabu, 29 Mei 2019

Amin Rais, Edward Said, Noam Comsky

Catatan netizen di akun facebook tgl 26 Mei 2019, Sangaji :


Hari ini lagi Viral UGM mencopot gelar Profesor Pak Amin Rais. Ini informasi yg sama sekali tdk bernilai akademis dan ngaco, Menurut Informasi dari orang dekat Pak Amin bahwa pak Amin Rais itu sudah minta pensiun dini sejak beliau terjun di dunia politik sebagai ketua PAn dan menjadi ketua MPR RI tahun 1998, karena aturan PNS menentukan seperti itu. Belau bukan tipe orang kemaruk dengan semangat aji mumpung, mumpung masih jadi pejabat bisa tidak pensiun sebagai guru besar. Dengan begitu otomatis beliau tidak lagi menjadi Profesor atau guru besar di UGM. Tidak perlu dicopot akan copot dg sendirinya sesuai peraturan PNS atau ASN. Tapi beliau bisa menjadi Profesor di sekitar 70 Perguruan tinggi milik Muhammadiyah dan sekarang beliau menjadi Profesor atau guru besar hubungan internasional di Universitas Muhammadiyah Yogjakarta. Kalau di PTS maka nggak ada urusannya dengan negara, karena yg menggaji juga PTS yg bersangkutan. Di Indonesia ini aneh untuk menjadi Profesor hrs melalui SK Menteri atau Presiden, di luar negeri gelar profesor itu wilayah otonomi perguruan tinggi jadi tidak membutuhkan SK dari pemerintah, karena orang diangkat menjadi profesor itu karena pertimbangan kompetensi profesionalnya bukan yg lain. DAN SEKARANG PAK AMIN TIDAK BUTUH GELAR PROFESOR DARI UGM.

Hikayat MAR versus Doktor Kuntet Mangkulangit

29 Mei 2019

Mohammad Amien Rais (MAR) adalah intelektual organik dalam perspektif gramscian, seorang intelektual yang tidak nongkrong saja di atas menara gading dan tenggelam dalam dalam tumpukan buku-buku.
Intelektual organik turun ke jalan dan terlibat langsung dalam gerakan masyarakat menentang ketidakadilan, sedangkan intelektual tradisional sibuk dengan penelitian-perhatian semu dan bangga dengan gelar akademiknya yang berderet-deret sampai dua meter.

MAR sudah turun ke jalan pada 1998 menentang kekuasaan otoritarian Soeharto. Dia tak kenal takut, saraf takutnya sudah putus. Melawan Soeharto MAR bertaruh nyawa bukan sekadar jabatan.

Kemudian MAR beraksi lagi ketika dianggapnya presiden Gus Dur melenceng lagi dari rel, MAR tak takut melengserkannya, lagi-lagi taruhannya nyawa bukan jabatan. Kepedulian dan keterlibatan MAR dalam perjuangan bersama rakyat berada pada level langit, level para dewa.

Sekarang nyali MAR masih tetap tinggi. Usianya sudah 75 tahun sudah terlihat tak selincah 20 tahun silam, tapi semangat perlawanan itu masih tetap ada padanya, tak terlihat surut ia menentang ketidakadilan.

Tak ada yg ditakuti MAR, jangankan gelar akademik, nyawanya pun ia pertaruhkan. Karena itu lucu kalau banyak lawan politik bertepuk tangan ketika UGM mengumumkan bahwa gelar akademik MAR sebagai profesor sudah dicabut karena sudah pensiun dan tidak lagi menghasilkan karya ilmiah. Seolah-olah MAR sangat terpukul oleh pencabutan gelar itu.

Memang begitulah cara pandang intelektual tradisional yang terkungkung di kampus. Mereka merasa bangga dengan karya-karya ilmiah yg hrs disetor tiga kali setahun. Mereka bangga dengan gelar akademiknya meskipun itu berarti mereka menjadi intelektual budak alias kacung yang lupa menjalankan kewajiban organiknya.

Tak jarang untuk mengejar setoran mereka jadi tukang palak, memalak para mahsiswa untuk setor karya ilmiah yang kemudian diakui sebagai karyanya. Mereka bikin sibuk kejar setoran sampai gak sempat mikir nasib bangsa. Pada gilirannya para mahasiswa dibuat sibuk melayani dosennya sampai gak kepikiran lagi keadaan di sekelilingnya.

Dalam bahasa Ali Syari’ati MAR adalah rausyan fikr manusia merdeka yang tercerahkan, dengan intelektualitasnya ia mencapai pencerahan dan kemudian memakainya untuk mencerahkan rakyat melawan ketidakadilan.

Intelektual organik dan rausyan fikr adalah manusia merdeka, sedangkan para intelektual tradisional di kampus itu adalah kacung-kacung yang menjadi korban berkepanjangan imperialisme intelektual Barat.

Mereka menjadi hamba Scopus dan tidak sadar bahwa mereka korban penjajahan intelektual Barat. Mental inlander menjadikan mereka bangga bisa bekerja sama dengan ilmuwan barat meskipun mereka hanya menjadi pesuruh.

Ada seorang doktor anyaran yg begitu bangga dengan kampusnya di Inggris dan mengolok-olok MAR. Dia lupa MAR lulus dari Chicago University dengan predikat cum laude. Dibanding MAR anak kecil ini peanut.

Dia bangga melakukan riset dengan bule-bule dan pamer foto-foto dimana-mana. Badannya kuntet terlihat lucu di antara bule-bule. Mentalnya kuntet juga karena gak sadar bahwa dia adalah intelektual inlander. Toh dia merasa pinter setinggi langit. Pantaslah dia disebut si Doktor Kuntet Mangkulangit.

Para intelektual doktor dan profesor kuntet mangkulangit jumlahnya ribuan di Indonesia, sedangkan intelektual organik kelas langit ala MAR jumlahnya bijian. Para doktor profesor kuntet mangkulangit sibuk kejar setoran Scopus dan sibuk memalak mahasiswa dengan ngasih tugas-tugas penelitian sampai-sampai mahasiswa terbuai lupa gak sadar dan diam saja melihat ketidakadilan di depan matanya.

Julien Benda tak ragu menyebut para intelektual kuntet mangkulangit itu sebagai pengkhianat. Dalam La Trahison des Clercs, Benda mengatakan bahwa para cendekiawan yg mengurung diri di kampus dan tak peduli dengan ketidakadilan adalah cendekiawan pengkhianat.

Sejarah para intelektual besar pekat diwarnai perjuangan melawan hegemoni barat. Edward Said adalah intelektual Amerika nasrani blasteran Arab-Amerika, tapi dia adalah penentang utama hegemoni intelektual barat dan berada pada garda terdepan pembela hak-hak bangsa palestina.

Noam Chomsky, intelektual yahudi-amerika, gak punya takut menjadi pengkritik utama Amerika dan Israel. Ratusan karya tulisnya superkritis terhadap kebijakan Amerika. Ia menjuluki Amerika dan Israel sebagai teroris terbesar di dunia.

Merekalah lah contoh intelektual organik sejati. Merekalah contoh rausyan fikr tingkat langit dan level dewa. MAR ada di level langit itu. Sementara para pengritiknya sekarang berada pada level kuntet si mangkulangit.

(dad/rusdianto)

copy dari : detikperistiwa.com