Rabu, 15 Maret 2017

Keunggulan Manusia dan Keunggulan Karyanya

Apa hal terakhir yang membuat manusia berbeda dari mesin?

Oleh :  Viktor Mayer-Schonberger

13 Maret 2017

Jika komputer sudah melakukan hal-hal yang dulu merupakan pekerjaan yang sangat manusiawi maka apakah artinya menjadi manusia di masa depan?


Salah satu berita paling penting dari AS di awal 2017 bukan berasal dari Gedung Putih, atau akun Twitter Donald Trump.

Namun ia tersembunyi dalam laporan yang dibuat bersama California Department of Motor Vehicles (DMV) dan dibuka untuk publik di situs web DMV.

Laporan tersebut memapar upaya Google (atau lebih tepatnya anak perusahaannya, Waymo) untuk mewujudkan kendaraan tanpa pengemudi.

Tertulis dalam laporan bahwa pada tahun 2016, mobil tanpa pengemudi ciptaan Google telah menempuh jarak 1.023.330km dan membutuhkan intervensi manusia 124 kali. Itu berarti satu intervensi pada setiap 8.047km mobil itu berjalan tanpa pengemudi.

Akan tetapi, yang lebih menakjubkan ialah kemajuan yang mereka capai dalam satu tahun: intervensi manusia berkurang dari 0,8 kali per seribu mil (1609,344km) menjadi 0,2, yang berarti peningkatan kinerja sebesar 400%.

Dengan kemajuan sepesat itu, mobil Google akan melampaui kemampuan mengemudi saya pada akhir tahun ini.

Dahulu, mengemudi tampak seperti keterampilan yang sangat manusiawi. Tapi kita juga berpikir begitu tentang catur. Kemudian komputer mengalahkan pecatur juara dunia, berkali-kali.

Permainan strategi Go menggantikan catur sebagai uji litmus untuk daya pikir manusia; hingga 2016, ketika komputer mengalahkan salah seorang pemain Go profesional kelas dunia. Komputer IBM bernama Watson memenangkan kuis Jeopardy - hal lain yang dianggap sebagai domain manusia. Dan sekarang computer membagi waktunya antara mengenali kanker kulit dengan membuat resep masakan, dan sebagainya.

Jika komputer sudah melakukan hal-hal yang dulu merupakan pekerjaan yang sangat manusiawi - yang membutuhkan pengetahuan, strategi, bahkan kreativitas - maka apakah artinya menjadi manusia di masa depan?

Beberapa orang khawatir bahwa mobil dan truk tanpa pengemudi akan menggantikan jutaan supir profesional (mereka benar) dan mengubah seluruh industri (ya!). Tapi saya khawatir tentang anak laki-laki saya yang berusia enam tahun. Akan seperti apa perannya di dunia tempat mesin telah mengalahkan manusia di berbagai bidang? Apa yang akan ia lakukan, dan bagaimana hubungannya dengan mesin-mesin yang semakin pintar ini? Akan seperti apa kontribusi dia dan kawan-kawan sesama manusianya di dunia yang ia huni?

Dibandingkan komputer, ia tak akan bisa menghitung atau menyelesaikan persamaan matematik lebih cepat. Ia tak akan bisa mengetik lebih cepat, mengemudi lebih baik, atau bahkan menerbangkan pesawat dengan lebih aman.

Ia mungkin tetap bisa bermain catur dengan kawan-kawannya, namun karena ia manusia, ia tak akan punya kesempatan menjadi pemain catur terbaik di seluruh dunia. Ia mungkin tetap menikmati bicara dengan berbagai bahasa (seperti yang ia lakukan saat ini), namun dalam kehidupan profesionalnya keterampilan itu mungkin bukan lagi keunggulan kompetitif, jika kita mempertimbangkan perkembangan mesin alih-bahasa real-time belakangan ini.

Sebenarnya, semuanya kembali kepada satu pertanyaan sederhana: Apa yang begitu spesial dalam diri kita, dan apa yang membuat kita tak tergantikan? Pastinya bukan keterampilan seperti aritmatika atau mengetik, yang telah dikuasai dengan baik oleh mesin. Juga bukan rasionalitas, karena dengan semua bias dan emosi kita, manusia lemah tentang hal itu.

Jadi mungkin kita bisa memikirkan kualitas di ujung lain spektrum: kreativitas radikal, orisinalitas irasional, bahkan sedikit kegilaan tidak logis, sebagai ganti logika yang kaku. Ibarat dalam cerita Star Trek, kita menjadi lebih mirip Kirk daripada Spock.

Sejauh ini, mesin kesulitan meniru kualitas ini: lompatan keyakinan yang 'gila,' cukup sewenang-wenang sehingga tidak bisa diprediksi oleh bot, namun lebih dari sekedar tindakan acak. Kesulitan mesin adalah kesempatan kita.

Saya tidak menyarankan agar kita menyerah untuk menggunakan akal sehat, logika, dan pemikiran kritis. Justru karena saya sangat menghargai nilai rasionalitas dan pengetahuan, saya yakin kita bisa sedikit merayakan kebalikannya.

Saya juga bukan seorang luddite (pembenci teknologi). Malah sebaliknya. Jika kita terus berupaya menyempurnakan mesin pemroses informasi itu dan membuat mereka beradaptasi dan belajar dari setiap interaksi dengan lingkungan, dari setiap bit data yang dipasok kepada mereka, kita akan memiliki asisten rasional yang dapat membantu kita.

Mereka akan memberdayakan kita untuk mengatasi berbagai keterbatasan kita sebagai manusia dalam mengubah informasi menjadi keputusan rasional. Dan komputer pun akan semakin baik dan semakin baik lagi untuk hal itu.

Jadi kita harus mengarahkan kontribusi manusia terhadap pembagian pekerjaan ini untuk melengkapi rasionalitas mesin, bukan bersaing dengannya. Karena hal itulah yang akan selalu membedakan kita dari mereka, dan perbedaan inilah yang menciptakan nilai.

Jika saya benar, kira harus memelihara jiwa kreatif, sikap spontan, bahkan ide tak rasional dalam mendidik anak-anak kita. Bukan karena ketidakrasionalan itu merupakan sebentuk kebahagiaan tak terkira, namun karena sepercik kreativitas tak logis akan melengkapi rasionalitas mesin. Hal ini akan merupakan jaminan bahwa kita selalu punya tempat dalam evolusi.

Akan tetapi, sayangnya, sistem pendidikan kita belum siap berhadapan dengan Zaman Mesin Kedua yang akan datang ini. Seperti petani yang berkutat di pola pikir pra-industri, sekolah dan universitas kita terstruktur untuk membentuk siswa yang menjadi budak patuh rasionalitas, dan mengembangkan keterampilan yang usang dalam berinteraksi dengan mesin yang usang pula.

Jika kita memperlakukan tantangan yang datang dari mesin itu dengan sungguh-sungguh, kita perlu mengubahnya, dan dengan cepat. Tentu saja kita perlu terus mengajarkan pentingnya rasionalitas berdasarkan fakta, dan bagaimana fakta yang lebih akurat menuntun pada keputusan yang lebih baik.

Kita perlu membantu anak-anak kita belajar bagaimana cara terbaik bekerja dengan komputer-komputer pintar untuk menyempurnakan proses pengambilan keputusan manusia.

Namun hal paling penting ialah kita harus mempertahankan perspektif jangka panjang di benak kita: bahwa meskipun komputer akan lebih pintar dari kita, kita tetap bisa menjadi yang paling kreatif, jika kita menganggap kreativitas sebagai salah satu sifat yang mendefinisikan sifat manusia. Misalnya ide-ide tak rasional yang lucu, atau luapan emosi.

Karena jika tidak, kita tak akan cukup bernilai dalam ekosistem masa depan, dan itu membuat dasar eksistensi kita menjadi pertanyaan.

Kita sebaiknya memulainya sekarang juga. Karena ketika eksistensi dan tujuan kemanusiaan menjadi taruhan, maka hanya berfokus pada politik partisan dan media sosial presiden AS akan tak lebih sia-sia dibanding menyusun ulang posisi kursi dek di kapal Titanic.

copy dari bbc-indonesia