Dlm bahasa ekonomi “biaya bangun ibu-kota baru senilai Rp.466 trilliun adalah biaya yg dikorbankan utk bangun infrastruktur laut-darat-udara-pendidikan-keseharan-listrik-air-telekom-dll senilai Rp.466 trilliun di seluruh kawasan RI Timur”.— Emil Salim (@emilsalim2010) July 31, 2019
Perhitungan ekonomi dlm pembangunan pakai konsep “capital-output ratio” yg mengukur besar modal/investasi yg perlu utk nakkan output. Bangun ibu-kota besar modalnya, kecil outputnya dibanding dgn investasi naikkan produksi.
— Emil Salim (@emilsalim2010) August 1, 2019
Masalahnya apa perlu pindah ibu-kota jika keperluan dana utk bangun bangsa masih besar? Negara bisa maju dgn membangun pendidikan naikkan produktifitas bangsa secara massif sehingga terbangun industri dan pertanian maju. Lihat Jepang, Korea Selatan, RRT.
— Emil Salim (@emilsalim2010) August 1, 2019
Sebaiknya diskusi antar para ahli harus matang dulu, sebelum menyampaikan ke Presiden. Ini bagian dari “tanggungjawab intelektuil”, sehingga Presiden bisa ambil keputusan yg matang fikiran intelektualnya.
— Emil Salim (@emilsalim2010) August 1, 2019
Soalnya “meragukan sesama alumni UI apabila argumentasi yg dipakai sarjana manapun tidak masuk logika ilmiah.” Apakah opportunity cost dari biaya pemindahan sudah diperhitungkan bila kita perlu tanggapi bonus demografi dan Middle Income Trap negara kita?
— Emil Salim (@emilsalim2010) August 1, 2019
Bukankah gedung2 pemerintah yg ditukar-ganti (ruil-slag) adalah asset kekayaan negara sehingga mengurangi nilai yg bisa dipakai utk keperluan lain seperti pemberantasan kemiskinan dll. Lalu berapa nilai historis gedung2 Pancasila Deplu, DPR, Sekneg, dll?
— Emil Salim (@emilsalim2010) August 2, 2019