Minggu, 13 Januari 2019

Itu kok ada yang ngaku-ngaku prestasi hebat soal anggaran?



berikut copy beritanya...

Tercium, Bau Manipulasi Di Balik Penerimaan Negara

14 JANUARI 2019

RMOL. Data mengenai penerimaan negara meningkat bukan prestasi yang layak dibanggakan oleh pemerintah. Sebab, penerimaan yang diraih cenderung manipulatif.

Ekonom senior DR. Rizal Ramli menjelaskan bahwa penerimaan itu meningkat hanya karena asumsi harga minyak dibuat rendah, yaitu 48 dolar AS per barel di APBN 2018. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mencapai 68 dolar AS per barel atau lebih tinggi dari asumsi dalam APBN 2018.

Selisih antara asumsi APBN dengan pergerakan harga minyak dunia membuat penerimaan negara dari sektor migas otomatis meningkat tajam, baik dari pajak, maupun penerimaan lain non-pajak.

“Itu kok ada yang ngaku-ngaku prestasi hebat soal anggaran? Manipulatif banget sih?” ujar pria yang akrab disapa RR dalam akun Twitter pribadinya, Minggu (13/1).

Lebih lanjut, dia menyoroti data yang dirilis Bloomberg tentang tax ratio negara-negara di Asia Tenggara. Tax ratio Indonesia sebesar 10,33, berada di bawah negara lain seperti Laos, Filipina, dan Malaysia.

Atas alasan itu, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu meminta pemerintah tidak sesumbar.

Kritik RR terhadap pengelolaan ekonomi negara tidak cukup sampai di situ. RR turut memunculkan data mengenai tax ratio era Jokowi. Dalam grafik tax ratio definisi sempit, grafik secara konsisten bergerak menurun dari tahun 2014 hingga 2019. Sementara grafik tax ratio definisi luas, sempat menurut dari 2014 hingga 2017 dan mengalami kenaikan di tahun 2018.

“Tax ratio terendah (9,5 persen) tahun 2018 dibandingkan 2015 (11,6 persen) atau ketika  RR Menko tahun 2000 hingga 2001 (12,5 persen). Bahkan setelah ubah definisi (merah), tetap rendah. Itulah mengapa perlu tambah utang terus dengan yield tertinggi di kawasan (8,5 persen), Vietnam hanya 5 persen!” urainya.

Indonesia berhutang dengan yield tertinggi di kawasan Asia Tenggara, yakni 8,5 persen. Hal itu juga yang kemudian membuat lembaga pemberi pinjaman asing dan para bankir senang dengan Indonesia.

”Ya dapat bonus hadiah Menkeu terbaik deh. Rakyat dan bangsa dirugikan trilliunan! Ini kejahatan kerah putih. Rupiah menguat dengan suntikan bunga pinjaman bunga tinggi!” terang RR.

Menurutnya, mengandalkan stabilitas rupiah dengan pinjaman yang semakin besar dan yield yang tinggi memang baik untuk jangka pendek. Tapi untuk jangka menengah, kebijakan ini sangat berbahaya.

“Bagaikan beri ‘bom’ untuk pemerintah berikutnya! Begini kok dibilang pengelolaan “prudent”, hati-hati? Dimana hati-hatinya? Kalau tax ratio tinggi (15,6 persen sesuai target resmi Presiden Jokowi) baru prudent,” pungkasnya. [ian]

copy dari : poltik.rmo.co

Sabtu, 12 Januari 2019

Talkshow dengan Munir

Selasa, 08 Januari 2019

Defisit Perdagangan 2018

silahkan play

Rabu, 02 Januari 2019

Neoliberalisme ala Bank Dunia






Rizal Ramli 'Kepret' Bank Dunia Soal Utang Neolib


Rabu, 02 Jan 2019

Jakarta - Pembangunan di Indonesia saat ini masih menggunakan skema utang. Hal ini dilakukan karena masih ada defisit pada anggaran negara.

Mantan menteri koordinator bidang kemaritiman Rizal Ramli mengungkapkan pembangunan sebuah negara yang berlandaskan utang tidak akan pernah berhasil.

"Model pembangunan neoliberalisme ala Bank Dunia, tidak akan pernah membuat Indonesia tumbuh tinggi seperti Jepang dan China," cuit Rizal Ramli dalam akun twitternya, Rabu (2/1/2019).

Dia mengungkapkan jika ada pertumbuhan lebih dari 6,5% maka akan terjadi overheating atau kepanasan, utang harus dikurangi. Menurutnya, utang menjadi rem otomatis untuk mengerem pertumbuhan.

Menurut dia jika Indonesia ingin tumbuh double digit dan menjadi negara kuat serta hebat, maka model pembangunan ekonomi neoliberal ala Bank Dunia harus ditinggalkan.

"Tidak ada negara di dunia yang berhasil ketika mengikuti model Bank Dunia, tidak di Latin Amerika, tidak di Asia apalagi Afrika," jelasnya.

Rizal menyampaikan, memang pinjam meminjam adalah hal yang biasa karena untuk berkembang dibutuhkan pendanaan. Namun jika negara meminjam dari lembaga multilateral seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia akan banyak prasyarat yang merupakan jebakan-jebakan neoliberalisme.

Selain itu juga ada pinjaman antar negara yang dirancang sebagai "loan-to-owned", sengaja di-markup agar macet sehingga bisa dikuasai.

"Yang paling baik, tentu tingkatkan pembiayaan dalam negeri, termasuk naikkan tax ratio. Dalam hal ini team ekonomi gagal, tax ratio mandeg di 10,5% GDP," imbuh dia.

(kil/ang)

copy dari detik