Selasa, 10 April 2018

Rontoknya Propaganda

Saracen Tak Terbukti Sebarkan Hoax dan Ujaran Kebencian


Minggu, 08 Apr 2018

PEKANBARU (TEROPONGSENAYAN) --Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa opini yang telah terbentuk di masyarakat, yang menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras antargolongan (SARA) tidak terbukti.

Hal ini disampaikan oleh hakim Riska, satu dari tiga majelis hakim saat membacakan amar putusan vonis terhadap terdakwa pentolan Saracen Jasriadi yang selama ini disebut-sebut sebagai bos Saracen, di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat (6/4/2018) akhir pekan kemarin.

Hakim Riska mengatakan, sejak kasus Saracen bergulir, banyak media menyebut bahwa Saracen merupakan kelompok penyebar kebencian dan SARA.

Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi bangsa.

"Sejak kasus muncul di media, sudah terbentuk opini bahwa Saracen bersifat negatif untuk menyebarkan ujaran kebencian. Yang mengacu pada SARA, yang berakibat pada disintegrasi bangsa," kata hakim Riska membacakan putusan dengan sidang yang dipimpin hakim ketua Asep Koswara.

Hakim Riska melanjutkan, berdasarkan fakta-fakta persidangan menyimpulkan bahwa tuduhan yang sejak awal kasus itu bergulir tidaklah terbukti.

Terdakwa Jasriadi yang menjadi pengelola laman Saracen tidak terbukti mengunggah ujaran kebencian, termasuk menerima aliran dana ratusan juta rupiah seperti dituduhkan kepada pria 33 tahun tersebut.

Begitu juga terkait tuduhan bahwa Jasriadi membuat 800 ribu akun Facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran kebencian.

"Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut sebagaimana opini yang beredar selama ini," katanya menambahkan.

"Terdakwa Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah maupun membuat akun-akun anonim sebanyak 800 ribu. Bahwa menjadi tugas dan kewajiban majelis hakim untuk menilai kebenaran keterangan saksi dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain dan penyesuaian alat bukti," ujarnya lagi.

Diketahui, Klkasus Saracen mulai mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap oleh Mabes Polri di kediamannya, Jalan Kasa, Kota Pekanbaru.

Dia ditangkap setelah sebelumnya Polri menangkap dua orang lainnya, masing-masing Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong atas tuduhan serupa.

Mereka disebut sebagai satu sindikat yang sama sebagai penyebar kebencian dan SARA. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat tersebut, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.

Namun, ketika kasus bergulir ke kejaksaan, dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) sama sekali tidak menyebut Jasriadi mengunggah ujaran kebencian, SARA, dan menerima aliran dana.

JPU Kejaksaan Negeri Pekanbaru hanya mendakwa Jasriadi melakukan akses ilegal terhadap akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, yang telah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.

Selain itu, Jasriadi juga didakwa melakukan pemalsuan identitas diri. Dalam perkara manipulasi data ini, JPU sebelumnya menuduh terdakwa Jasriadi melakukan pemalsuan kartu tanda penduduk atas nama Suarni, lalu mengubah nama saksi Suarni menggunakan aplikasi Photoshop menjadi Saracen. Namun, hakim menyatakan dakwaan itu tidak terbukti.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Jasriadi hanya terbukti melakukan akses ilegal media sosial Facebook dengan hukuman 10 bulan penjara.

Hakim Asep Koswara sebagai pimpinan majelis menyatakan Jasriadi terbukti melanggar Pasal 46 ayat (2) juncto pasal 30 ayat (2) UU ITE.

Meski kemudian hanya divonis rendah, Jasriadi dan kuasa hukumnya, Dedi Gunawan, tetap menyatakan banding.

Jasriadi kepada awak media mengatakan akan menempuh langkah hukum lebih tinggi terkait putusan tersebut.

"Saya menolak atas putusan ini karena banyak hal yang bertolak belakang. Ini akan saya perjuangkan karena ini menyangkut jasa penyedia layanan dan jasa penggunanya," tandasnya. (Alf)

copy dari : teropongsenayan.com

----

Dakwaan Tak Terbukti, Saracen Balik Arah


Oleh: Asyari Usman*

Hari Jumat kemarin (6 April 2018), sebuah “bom penghancur kredibilitas” jatuh di Mabes Polri. “Bom” itu adalah putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru bahwa dakwaan jaksa tentang Saracen yang disebut-sebut sebagai mesin penyebar ujaran kebencian, dinyatakan tidak terbukti. Yang menjadi “bintang” kasus yang sempat menggemparkan itu, yakni Jasriadi, dihukum 10 bulan penjara karena mengakses akun Sri Rahayu Ningsih secara ilegal.

Tak kurang Presiden Jokowi sendiri sempat bereaksi overdosis dengan menggunakan kata “mengerikan” tentang Saracen. Dan memang dramatis sekali cerita yang dibangun oleh Polisi mengenai operasi “pabrik fitnah” yang akhirnya tak terbukti itu. Ini kata Pak Jokowi seperti dikutip oleh Kompas.com:

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo menilai, kelompok Saracen yang menyebarkan hoaks di dunia maya sangat mengerikan dan harus segera diungkap sampai ke akar-akarnya oleh pihak kepolisian. “Individu saja sangat merusak kalau informasinya itu tidak benar, bohong apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan mengerikan,” kata Jokowi di silang Monas, Jakarta, Minggu (27/8/2017).

Artikel ini telah tayang di Kompas..com dengan judul “Jokowi: Saracen Mengerikan, Saya Perintahkan Kapolri Usut Tuntas”, https://nasional.kompas,com/read/2017/08/27/18501421/jokowi-saracen-mengerikan-saya-perintahkan-kapolri-usut-tuntas (Note: “titik” di alamat URL di atas diganti menjadi “koma” agar tidak muncul di Wall.)

Putusan majelis hakim PN Pekanbaru ini pastilah sangat memalukan. Tentunya bagi orang yang memiliki rasa malu. Bagi yang tebal muka, mereka anggap biasa saja.

Memalukan, karena kredibitas pimpinan Polri menjadi hancur berserakan. Betapa tidak! Semua orang besar di Polri waktu itu sangat bersemangat untuk membongkar jaringan yang “mengerikan”. Apalagi, oleh berbagai pihak, kegiatan jahat jaringan itu dikesan-kesankan terkait dengan umat Islam, khususnya kaum muslimin yang menunjukkan sikap kritis terhadap penguasa.

Sekarang, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri tentang Saracen yang “mengerikan” itu dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan jaksa di pengadilan, dianggap “omong kosong” oleh majelis hakim. Jasriadi dinyatakan tak terbutki menerima pesanan penyebaran ujaran kebencian dengan upah ratusan juta rupiah. Juga tak terbutki membuat 800,000 akun anonim.

Bukankah ini berarti bahwa kasus Saracen adalah isu yang dipaksakan? Yaitu dipaksakan guna mendapatkan pembenaran (justifikasi) bahwa memang ada operasi besar-besaran untuk menjelek-jelekkan penguasa melalui “pabrik fitnah” yang disebut Saracen.

Meskipun tidak terbukti, kasus Saracen telah menimbulkan goresan di kalangan publik. Menurut hemat saya, kasus ini sedikit-banyak menimbulkan macam-macam perasaan negatif, terutama di kalangan umat Islam. Ada rasa tersinggung, ada rasa malu, ada rasa sedih, ada rasa “helpless” (tak berdaya), dlsb. Sebab, secara kebetulan para “pelaku” Saracen yang ditangkap polisi adalah orang Islam. Serasa umat Islam menjadi tertuduh, tersangka, dan menjadi terdakwa.

Saya yakin, banyak kaum muslimin yang menangis, yang marah, yang sedih, dan yang juga malu disebabkan isu Saracen. Waktu itu banyak orang, terutama dari kubu penguasa, yang mengucapkan labelisasi jelek terhadap orang-orang yang dikatakan terlibat jaringan yang “mengerikan” ini. Sekali lagi, orang-orang yang terlibat itu adalah orang Islam.

Hari ini, kaum muslimin bersujud syukur. Bersyukur karena yang “mengerikan” itu ternyata bukanlah Saracen, melainkan cara kerja Polisi. Yang “mengerikan” itu adalah imajinasi yang berkembang dalam penyelidikan.

Yang “mengerikan” itu adalah nafsu untuk membuktikan keberadaan Saracen sebagai “mesin kebencian”. Keinginan yang menggebu-gebu untuk mensaracenkan yang bukan Saracen.

Hari ini, pimpinan Polri pantas merenung. Klaim “kami profesional”, menjadi tidak klop. Putusan PN Pekanbaru perlu direnungkan karena Sacaren bukan isu kecil. Saracen hampir-hampir menyeret tokoh-tokoh yang tak bersalah, yang selama ini hanya mengambil posisi yang berseberangan dengan penguasa. Waktu itu, saya berpikir: “Sebegitu burukkah kelakuan oknum-oknum Islam dalam beroposisi?” Haruskah menyebar kebencian dan fitnah dengan cara Saracen untuk menghentikan kesewenangan penguasa?

Alhamdulillah, semua itu tak terbukti di pengadilan. Semua tuduhan yang “mengerikan” itu meleleh dengan sendirinya. Dengan kuasa Allah SWT, tentunya.

Hari ini, Saracen balik gagang. Balik arah. Dia kembali ke arah yang melemparkan bumerang. Tidak hanya kredibilitas pimpinan Polri yang sedang digugat, tetapi juga seluruh ruang kerja penguasa sedang dilanda “gempa” 10 Richter.

Bagi Presiden Jokowi, satu-satunya cara untuk tidak merasakan guncangan gempa kuat itu ialah dengan naik pesawat terbang. Dan, hanya ada satu penerbangan reguler yang tersedia yaitu pesawat dengan nomor Flight GP-2019.

Kalau mau penerbangan khusus (bukan reguler), tentu bisa dicarikan. [swa]

*(Penulis adalah wartawan senior)

copy dari : gelora.co dari swamedium

Lolos Vonis Hakim, Polisi Kembali Jerat Pentolan Saracen




Kepolisian kembali menjerat pentolan Saracen Jasriadi setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan terdakwa perkara penyebar ujaran kebencian dan isu SARA itu tidak terbukti bersalah atas dakwaan jaksa.

Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol Mohammad Iqbal menjelaskan Jasriadi dijerat pasal ilegal akses atau membobol akun sosial media Facebook milik orang lain.

“Kami jerat dengan pasal ilegal akses,” kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Senin (9/4).

Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan dalam pasa ilegal akses, pihakya yakin bisa membawa Jasriadi mempertangungjawabkan perbuatannya. Sebab terdakwa lainnya yang masih kelompok Saracen divonis 10 bulan lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan ilegal akses.

“Itu bukti bahwa kelompok Saracen sangat terbukti dengan pasal yang sudah disangkakan,” pungkas Iqbal.

Kasus Saracen mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap oleh Mabes Polri di kediamannya, Jalan Kasa, Kota Pekanbaru. Dia ditangkap setelah Polri menangkap dua orang lainnya, masing-masing Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong.

Mereka disebut sebagai satu sindikat yang sama sebagai penyebar kebencian dan SARA. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat tersebut, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.

Sebelumnya majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan Jasriadi tidak terbukti bersalah atas tuduhan sebagai penyebar ujaran kebencian.

copy dari  intelijen.co.id (9 April 2018)