Kamis, 12 April 2018

Fiksi yang Dimaksud Rocky Gerung

Fiksi Vs Fiktif

Kemarin, Rocky Gerung benar-benar menunjukkan kapasitas dirinya sebagai seorang profesor. Ia berani membongkar definisi sebuah kata yang selama ini disalahpahami masyarakat, termasuk aku. :)

"Saya perlu memahamkan terlebih dahulu apa itu Fiksi, karena akhir-akhir ini kita disibukkan oleh pidato Prabowo tentang Indonesia di tahun 2030," Prof. Rocky mengawali paparannya, "Bahkan banyak yang mengolok-olok, 'ah, itu data dari buku fiksi kok dipercaya.'"

Peserta di ruang ILC diam, mendengarkan.

"Padahal yang mengolok-olok inilah yang dungu. Mereka gak bisa bedakan antara FIKSI dengan FIKTIF. Fiksi adalah sesuatu yang bisa meledakkan daya imajinasi otak terhadap masa depan. Sedangkan fiktif artinya kebohongan. Sekarang saya mau tanya, kitab suci itu fiksi apa bukan?"

Ruangan terdiam.

Prof. Rocky tersenyum, "Siapa berani jawab?"

Masih hening.

"Kitab suci itu fiksi," tutur guru besar UI tersebut.

Wuih, berani benar ini orang, pikirku. Betul saja setelah itu banyak yang interupsi. Salah satunya dari Akbar Faisal.

"Sebentar, Pak Rocky. Saya berusaha memahami kata-kata Anda, tapi kali ini saya sebagai orang Islam tak bisa terima bahwa kitab suci saya, Al-Qur'an, dianggap sebagai fiksi. Padahal saya merasakan sendiri kalau Al-Qur'an itu fakta. Terjadi pada kehidupan saya. Statemen Anda bisa bermasalah."

Entahlah, melihat wajah yang memprotes membuatku bertanya, Bukannya orang ini yang dulu membela Ahok saat terjadi penistaan Al-Maidah 51? Sekarang dia merasa terluka Al-Qur'an dianggap fiksi.

"Makanya dengarkan dulu penjelasan saya," jawab Rocky Gerung. "Orang seperti Anda, sering salah kaprah. Menyandingkan kata FIKSI dengan kata FAKTA. Padahal sebenarnya FIKSI itu sandingannya dengan REALITA. Sesuatu dalam karya fiksi yang belum menjadi realita saat ini, bukan berarti itu bohong. Bisa jadi akan benar-benar terjadi di masa depan. Sedangkan kata FAKTA itu lawannya FIKTIF. Ketika saya bilang pemerintah tidak impor beras, itu FIKTIF, karena FAKTA-nya impor."

Nampak beberapa peserta di studio menganggukkan kepala.

"Seperti yang saya ungkap tadi, fiksi adalah narasi yang bersifat imajiner, mengarah ke masa depan, hingga para pembaca bisa berimajinasi tentang hal tersebut. Contoh dalam kitab suci mengatakan tentang keindahan surga, yang diperuntukkan untuk orang yang suka beramal baik. Kita belum merasakannya, tapi kita bisa membayangkan seperti apa keindahan di surga. Hingga orang-orang berlomba berbuat baik. Itu fiksi. Saya berani berkata kitab suci itu fiksi atas dasar definisi tersebut. Barulah kalau saya bilang bahwa kitab suci itu FIKTIF, saya bisa dipenjara. Karena dengan kata lain saya bilang kitab suci itu bohong."

Aku langsung membuka Google, menulis kata di kolom pencarian "Fiksi adalah". Klik.  Lalu muncullah tulisan ini:

'Fiksi adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan MENGANDUNG KEBENARAN yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.'

Wah, keren banget ini profesor. Darinya aku tahu, ternyata istilah FIKSI itu berbeda dengan FIKTIF. Fiksi ternyata cara penggambaran cerita di masa depan atau masa lalu dengan dramatisasi hingga manusia bisa membayangkan seperti apa kejadian sebenarnya.

Allah pun menggunakan cara fiksi ketika menggambarkan kiamat di dalam Al-Quran. Misal ketika Allah menggambarkan bagaimana kelak saat terjadi kiamat kubro. Bahwa bumi akan digulung, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung akan berterbangan seperti bulu-bulu diterjang angin. Bahkan, nanti seorang ibu akan berlari meninggalkan anak kandung yang sedang menyusu padanya.

Dan dengan pendekatan ini, kita akhirnya bisa membayangkan bagaimana ngerinya situasi saat kiamat tiba.

Sebagai orang beragama, kita wajib meyakini hal ini akan benar-benar terjadi pada suatu hari nanti.

Berbeda dengan istilah fiktif. Sebab fiktif adalah berita bohong.

Alhamdulillah, dapat ilmu baru. Gak sia-sia kemarin menunggu Profesor satu ini ngomong, meski harus menahan kantuk sampai jam 12 malam,  sebab ia baru diberi kesempatan bicara di akhir acara.

Terimakasih, Prof.

*

Surabaya, 11 April 2018
Fitrah Ilhami


-----
Saksikan arsip tayangan ILC di youtube

Selasa, 10 April 2018

Kenyamanan sebagai Kemewahan

Hidup itu seperti berlayar melawan arus. Jika kita tidak masuk/maju, kita akan mundur. Harga yang kita bayar untuk kenyamanan akan menjadi tidak sebanding dengan masa depan

Kenyamanan adalah kemewahan, sebelum Anda menikmatinya, tanyakan dulu pada dirimu sudah layakkah Anda.

selengkapnya : erabaru.net

Rontoknya Propaganda

Saracen Tak Terbukti Sebarkan Hoax dan Ujaran Kebencian


Minggu, 08 Apr 2018

PEKANBARU (TEROPONGSENAYAN) --Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa opini yang telah terbentuk di masyarakat, yang menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras antargolongan (SARA) tidak terbukti.

Hal ini disampaikan oleh hakim Riska, satu dari tiga majelis hakim saat membacakan amar putusan vonis terhadap terdakwa pentolan Saracen Jasriadi yang selama ini disebut-sebut sebagai bos Saracen, di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat (6/4/2018) akhir pekan kemarin.

Hakim Riska mengatakan, sejak kasus Saracen bergulir, banyak media menyebut bahwa Saracen merupakan kelompok penyebar kebencian dan SARA.

Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi bangsa.

"Sejak kasus muncul di media, sudah terbentuk opini bahwa Saracen bersifat negatif untuk menyebarkan ujaran kebencian. Yang mengacu pada SARA, yang berakibat pada disintegrasi bangsa," kata hakim Riska membacakan putusan dengan sidang yang dipimpin hakim ketua Asep Koswara.

Hakim Riska melanjutkan, berdasarkan fakta-fakta persidangan menyimpulkan bahwa tuduhan yang sejak awal kasus itu bergulir tidaklah terbukti.

Terdakwa Jasriadi yang menjadi pengelola laman Saracen tidak terbukti mengunggah ujaran kebencian, termasuk menerima aliran dana ratusan juta rupiah seperti dituduhkan kepada pria 33 tahun tersebut.

Begitu juga terkait tuduhan bahwa Jasriadi membuat 800 ribu akun Facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran kebencian.

"Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut sebagaimana opini yang beredar selama ini," katanya menambahkan.

"Terdakwa Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah maupun membuat akun-akun anonim sebanyak 800 ribu. Bahwa menjadi tugas dan kewajiban majelis hakim untuk menilai kebenaran keterangan saksi dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain dan penyesuaian alat bukti," ujarnya lagi.

Diketahui, Klkasus Saracen mulai mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap oleh Mabes Polri di kediamannya, Jalan Kasa, Kota Pekanbaru.

Dia ditangkap setelah sebelumnya Polri menangkap dua orang lainnya, masing-masing Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong atas tuduhan serupa.

Mereka disebut sebagai satu sindikat yang sama sebagai penyebar kebencian dan SARA. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat tersebut, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.

Namun, ketika kasus bergulir ke kejaksaan, dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) sama sekali tidak menyebut Jasriadi mengunggah ujaran kebencian, SARA, dan menerima aliran dana.

JPU Kejaksaan Negeri Pekanbaru hanya mendakwa Jasriadi melakukan akses ilegal terhadap akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, yang telah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.

Selain itu, Jasriadi juga didakwa melakukan pemalsuan identitas diri. Dalam perkara manipulasi data ini, JPU sebelumnya menuduh terdakwa Jasriadi melakukan pemalsuan kartu tanda penduduk atas nama Suarni, lalu mengubah nama saksi Suarni menggunakan aplikasi Photoshop menjadi Saracen. Namun, hakim menyatakan dakwaan itu tidak terbukti.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Jasriadi hanya terbukti melakukan akses ilegal media sosial Facebook dengan hukuman 10 bulan penjara.

Hakim Asep Koswara sebagai pimpinan majelis menyatakan Jasriadi terbukti melanggar Pasal 46 ayat (2) juncto pasal 30 ayat (2) UU ITE.

Meski kemudian hanya divonis rendah, Jasriadi dan kuasa hukumnya, Dedi Gunawan, tetap menyatakan banding.

Jasriadi kepada awak media mengatakan akan menempuh langkah hukum lebih tinggi terkait putusan tersebut.

"Saya menolak atas putusan ini karena banyak hal yang bertolak belakang. Ini akan saya perjuangkan karena ini menyangkut jasa penyedia layanan dan jasa penggunanya," tandasnya. (Alf)

copy dari : teropongsenayan.com

----

Dakwaan Tak Terbukti, Saracen Balik Arah


Oleh: Asyari Usman*

Hari Jumat kemarin (6 April 2018), sebuah “bom penghancur kredibilitas” jatuh di Mabes Polri. “Bom” itu adalah putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru bahwa dakwaan jaksa tentang Saracen yang disebut-sebut sebagai mesin penyebar ujaran kebencian, dinyatakan tidak terbukti. Yang menjadi “bintang” kasus yang sempat menggemparkan itu, yakni Jasriadi, dihukum 10 bulan penjara karena mengakses akun Sri Rahayu Ningsih secara ilegal.

Tak kurang Presiden Jokowi sendiri sempat bereaksi overdosis dengan menggunakan kata “mengerikan” tentang Saracen. Dan memang dramatis sekali cerita yang dibangun oleh Polisi mengenai operasi “pabrik fitnah” yang akhirnya tak terbukti itu. Ini kata Pak Jokowi seperti dikutip oleh Kompas.com:

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo menilai, kelompok Saracen yang menyebarkan hoaks di dunia maya sangat mengerikan dan harus segera diungkap sampai ke akar-akarnya oleh pihak kepolisian. “Individu saja sangat merusak kalau informasinya itu tidak benar, bohong apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan mengerikan,” kata Jokowi di silang Monas, Jakarta, Minggu (27/8/2017).

Artikel ini telah tayang di Kompas..com dengan judul “Jokowi: Saracen Mengerikan, Saya Perintahkan Kapolri Usut Tuntas”, https://nasional.kompas,com/read/2017/08/27/18501421/jokowi-saracen-mengerikan-saya-perintahkan-kapolri-usut-tuntas (Note: “titik” di alamat URL di atas diganti menjadi “koma” agar tidak muncul di Wall.)

Putusan majelis hakim PN Pekanbaru ini pastilah sangat memalukan. Tentunya bagi orang yang memiliki rasa malu. Bagi yang tebal muka, mereka anggap biasa saja.

Memalukan, karena kredibitas pimpinan Polri menjadi hancur berserakan. Betapa tidak! Semua orang besar di Polri waktu itu sangat bersemangat untuk membongkar jaringan yang “mengerikan”. Apalagi, oleh berbagai pihak, kegiatan jahat jaringan itu dikesan-kesankan terkait dengan umat Islam, khususnya kaum muslimin yang menunjukkan sikap kritis terhadap penguasa.

Sekarang, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri tentang Saracen yang “mengerikan” itu dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan jaksa di pengadilan, dianggap “omong kosong” oleh majelis hakim. Jasriadi dinyatakan tak terbutki menerima pesanan penyebaran ujaran kebencian dengan upah ratusan juta rupiah. Juga tak terbutki membuat 800,000 akun anonim.

Bukankah ini berarti bahwa kasus Saracen adalah isu yang dipaksakan? Yaitu dipaksakan guna mendapatkan pembenaran (justifikasi) bahwa memang ada operasi besar-besaran untuk menjelek-jelekkan penguasa melalui “pabrik fitnah” yang disebut Saracen.

Meskipun tidak terbukti, kasus Saracen telah menimbulkan goresan di kalangan publik. Menurut hemat saya, kasus ini sedikit-banyak menimbulkan macam-macam perasaan negatif, terutama di kalangan umat Islam. Ada rasa tersinggung, ada rasa malu, ada rasa sedih, ada rasa “helpless” (tak berdaya), dlsb. Sebab, secara kebetulan para “pelaku” Saracen yang ditangkap polisi adalah orang Islam. Serasa umat Islam menjadi tertuduh, tersangka, dan menjadi terdakwa.

Saya yakin, banyak kaum muslimin yang menangis, yang marah, yang sedih, dan yang juga malu disebabkan isu Saracen. Waktu itu banyak orang, terutama dari kubu penguasa, yang mengucapkan labelisasi jelek terhadap orang-orang yang dikatakan terlibat jaringan yang “mengerikan” ini. Sekali lagi, orang-orang yang terlibat itu adalah orang Islam.

Hari ini, kaum muslimin bersujud syukur. Bersyukur karena yang “mengerikan” itu ternyata bukanlah Saracen, melainkan cara kerja Polisi. Yang “mengerikan” itu adalah imajinasi yang berkembang dalam penyelidikan.

Yang “mengerikan” itu adalah nafsu untuk membuktikan keberadaan Saracen sebagai “mesin kebencian”. Keinginan yang menggebu-gebu untuk mensaracenkan yang bukan Saracen.

Hari ini, pimpinan Polri pantas merenung. Klaim “kami profesional”, menjadi tidak klop. Putusan PN Pekanbaru perlu direnungkan karena Sacaren bukan isu kecil. Saracen hampir-hampir menyeret tokoh-tokoh yang tak bersalah, yang selama ini hanya mengambil posisi yang berseberangan dengan penguasa. Waktu itu, saya berpikir: “Sebegitu burukkah kelakuan oknum-oknum Islam dalam beroposisi?” Haruskah menyebar kebencian dan fitnah dengan cara Saracen untuk menghentikan kesewenangan penguasa?

Alhamdulillah, semua itu tak terbukti di pengadilan. Semua tuduhan yang “mengerikan” itu meleleh dengan sendirinya. Dengan kuasa Allah SWT, tentunya.

Hari ini, Saracen balik gagang. Balik arah. Dia kembali ke arah yang melemparkan bumerang. Tidak hanya kredibilitas pimpinan Polri yang sedang digugat, tetapi juga seluruh ruang kerja penguasa sedang dilanda “gempa” 10 Richter.

Bagi Presiden Jokowi, satu-satunya cara untuk tidak merasakan guncangan gempa kuat itu ialah dengan naik pesawat terbang. Dan, hanya ada satu penerbangan reguler yang tersedia yaitu pesawat dengan nomor Flight GP-2019.

Kalau mau penerbangan khusus (bukan reguler), tentu bisa dicarikan. [swa]

*(Penulis adalah wartawan senior)

copy dari : gelora.co dari swamedium

Lolos Vonis Hakim, Polisi Kembali Jerat Pentolan Saracen




Kepolisian kembali menjerat pentolan Saracen Jasriadi setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan terdakwa perkara penyebar ujaran kebencian dan isu SARA itu tidak terbukti bersalah atas dakwaan jaksa.

Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol Mohammad Iqbal menjelaskan Jasriadi dijerat pasal ilegal akses atau membobol akun sosial media Facebook milik orang lain.

“Kami jerat dengan pasal ilegal akses,” kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Senin (9/4).

Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan dalam pasa ilegal akses, pihakya yakin bisa membawa Jasriadi mempertangungjawabkan perbuatannya. Sebab terdakwa lainnya yang masih kelompok Saracen divonis 10 bulan lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan ilegal akses.

“Itu bukti bahwa kelompok Saracen sangat terbukti dengan pasal yang sudah disangkakan,” pungkas Iqbal.

Kasus Saracen mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap oleh Mabes Polri di kediamannya, Jalan Kasa, Kota Pekanbaru. Dia ditangkap setelah Polri menangkap dua orang lainnya, masing-masing Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong.

Mereka disebut sebagai satu sindikat yang sama sebagai penyebar kebencian dan SARA. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat tersebut, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.

Sebelumnya majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan Jasriadi tidak terbukti bersalah atas tuduhan sebagai penyebar ujaran kebencian.

copy dari  intelijen.co.id (9 April 2018)

Kamis, 05 April 2018

Maaf Sukmawati Tidak Hapus Tanggung Jawab Hukumnya


Dewan Pakar ICMI: Permintaan Maaf Sukmawati Tidak Hapus Tanggung Jawab Hukumnya


6 April 20018

Sukmawati Soekarnoputri sudah meminta maaf atas puisi yang dinilai menodai syariat Islam.

Dari segi normatif hukum, permintaan maaf putri Bung Karno itu tetap tidak menghapus perbuatan dan pertanggungjawaban pidananya.

“Memang ada alasan subyektif yang bisa hapus pertanggungjawaban hukum pada pelakunya yaitu jika pelakunya gila,” urai Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo kepada redaksi, Kamis (5/4).

Hal ini sebagaimana diatur KUHP pasal 44. Dari segi agama pun demikian.
Permintaan maaf Sukmawati haruslah diikuti sanksi-sanksi hukum yang lain.

Anton mencontohkan, dalam hukum qisos karena melukai hidung balasannya sama. Pelaku melukai tangan juga begitu. Apalagi membunuh, kecuali pihak korban memaafkannya.

“Tetap harus ada hukum kompensasi yang lain biasanya dengan denda dan lain-lain yang ditentukan pihak korban dan kalau terkait kepentingan umum dengan hukum berlapis,” jelas purnawirawan jenderal polisi bintang satu ini.

Penerapan hukum seperti ini, kata Anton, juga berlaku di negara-negara lain. Contoh di Amerika, sambung Anton, artis Zsa Zsa Gabor menampar polisi yang menilangnya tak dihukum kurungan tapi didenda 125 ribu dolar AS plus kerja sosial selama dua tahun. Zsa Zsa juga diskors dari profesinya selama setahun.

Dibandingkan kasus Zsa Zsa, Anton menilai perbuatan Sukma sangatlah serius. Derajat keresahan sosialnya sangat tinggi dan meluas.

Anton mengingatkan. UU di Indonesia tegas mengancam dengan pidana berat. Yurisprudensinya sudah sangat banyak. Bahkan dalam delik formal, unsur pidana seperti kasus Sukma tak perlu ada aduan. Polisi bisa melakukan tindakan hukum.

Terlebih di tengah situasi yang sedang ramai kasus hatespeech Asma Dewi, Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Buni Yani yang dinilainya tidak jelas saja langsung dipenjara.

“Kasus Sukma ini nyata hate akidah kebencian terhadap akidah. Lebih meresahkan dari kasus Asma Dewi dan kawan-kawan tadi,” tegas Anton.

Ada tuntutan kepastian, kesaman, dan keadilan hukum pada situasi ini.

“Saya ingatkan jangan gagal pahami hukum lalu nilai kasus Sukma sebagai karya seni. UU nya sangat tegas karya seni kerya jurnalistik dilarang keras sentuh SARA. Apalagi kasus penodaan agama ada UU khusus dan ada Surat Mahkamah Agung (SeMA). ,” imbuhnya, menekankan.

Menurutnya, jika Sukmawat tidak dipenjara maka harus ada hukuman sosial berlapis dan ini bisa dirumuskan oleh umat dan aparat. “Itu maksud jika akan kedepankan musyawarah dalam hukum restorative justice. Bukan tanpa syarat,” demikian Anton.


copy dari : intelejen

Bookmark - attitude and intelligence

Yusril Menanggapi Keberatan Adik Ahok

Surat Harry Basuki

Berikut ini isi surat Harry Basuki yang ditulis di Jakarta, 1 April 2018:

Surat terbuka buat Bang Yusril.
Ngimana abang kabarnya ikam.
Saya baru pulang dari Belitung, dari makam bapak saya. Hari ini bertepatan dengan hari raya Paskah.
Saya cukup terkejut dengan berita pernyataan Bang Yusril mengenai Bapak saya di acara Islamic di Medan.
Pertama, saya tidak mengerti, kenapa nama bapak saya dibawa-bawa di acara tersebut.  Dikatakan bahwa bapak saya memilih menjadi WNA dan kami menjadi warga negara Indonesia tahun 1986.
Kalau ini urusannya dengan Ko Ahok, itu urusan Bang Yusril dengan Ko Ahok. Saya sendiri berhubungan baik dengan adik Bang Yusril. Tapi kalau menyangkut bapak saya, maaf ini menyangkut saya.
Kedua, saya berpikir bagaimana bapak saya yang memiliki nasionalisme tinggi, (lebih) memilih (menjadi) warga negara asing dan baru menjadi WNI sekitar tahun 1986? Padahal bapak saya selalu mengajarkan nilai-nilai nasionalisme dan kami semua sekolah di SD Negeri 3 Gantung.
Yang ketiga, bagaimana Bang Yusril tahu kalau bapak saya lebih memilih WNA, sedangkan umur Bang Yusril saja masih muda? Apa bapak saya bilang ke abang, keluarga abang atau hanya kesimpulan abang saja? Saya tidak tahu sulit atau tidaknya mengurus (menjadi) WNI waktu itu.
Bapak saya lahir di desa air tangga / simpang pesak, Belitung Timur. Beliau meninggalkan nama baik dan selalu dikenang membantu masyarakat yang membutuhkan. Begitulah almarhum bapak saya.
Yang terakhir, tentu saya ingin tahu dan melihat akte kelahiran saya. Di situ jelas tertulis bahwa saya lahir sebagai Warga Negara Indonesia. Apakah bisa (kalau) bapak saya WNA tapi anaknya lahir sudah WNI ?
Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin meluruskan bahwa bapak saya almarhum bernama : INDRA TJAHAJA PURNAMA. Silahkan lihat di akte kelahiran saya. Dan bapak saya adalah Warga Negara Indonesia yang sangat-sangat cinta tanah air.
Bapak yang selalu ingin anak-anaknya sekolah agar pulang dapat membantu dan membangun masyarakat di kampung halamannya.
Salam,
Harry Basuki

copy dari tempo

 

TANGGAPAN YUSRIL ATAS SURAT TERBUKA ADIK AHOK


Ceramah saya di Medan itu berkaitan dengan draf penyusunan UUD 45 terkait syari’at Islam dan syarat menjadi Presiden yang semula disepakati yakni “orang Indonesia asli dan beragama Islam”.

Kesepakatan tentang syariat Islam dihapuskan setelah melalui pembahasan, dan syarat presiden  harus “beragama Islam” ini kemudian entah bagaimana ceritanya turut hilang dengan disahkannya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Yang tersisa adalah “orang Indonesia asli”.

 Namun syarat “orang Indonesia asli” akhirnya hilang juga dengan amandemem UUD 45 pada tahun 2003. Rumusan Pasal 6 ayat (1) UUD 45 yang baru menyatakan bahwa Presiden adalah warganegara sejak kelahirannya dan tidak pernah memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.

Dalam konteks di atas itu saya memberi contoh tentang Ahok, yang menurut UUD 45 tidak bisa menjadi Presiden karena tidak memenuhi syarat sebab tidak terlahir sebagai warganegara Indonesia.

Mengapa Ahok tidak terlahir sebagai WNI? Jawabannya sederhana karena ayah Ahok, Tjung Kim Nam adalah warganegara Tiongkok. Sebelumnya beliau mempunyai dwi kewarganegaraan.

Sesuai UU No 62/1958 entang Kewarganegaraan RI, status dwi kewarganegaraan harus diakhiri dengan cara memilih salah satu: jadi WNI atau jadi WN RRT. Kesepakatan pengakhiran status dwi kewarganegaraan itu dicapai dan dirumuskan dalam “Persetujuan Soenario-Tjou En Lai”, antara Menlu RI dan Menlu RRT. Maka orang Cina di Indonesia pada tahun 1962 disuruh memilih. Ayah Ahok Tjung Kim Nam memilih warganegara RRT. Ahok lahir 1966, maka Ahok otomatis ikut warganegara ayahnya, RRT.

Ketika ayah Ahok dinaturalisasi, maka Ahok otomatis menjadi WNI ketika itu dia berusia 20 tahun di tahun 1986. Nama Ahok ada dalam SKBRI Tjung Kim Nam yang telah dinaturalisasi tahun 1986 itu.

Jadi ketika mencontohkan Ahok dalam kasus di atas, mau tidak mau saya harus menjelaskannya secara kronologis, sehingga menyebut nama ayah mereka mendiang Tjung Kim Nam tidak dapat dihindari. Hal ini semata2 saya kemukakan sebagai contoh karena Ahok pernah menyatakan kepada publik, keinginannya untuk menjadi Presiden RI. Dengan penjelasan kronologis itu, Ahok praktis tidak memenuhi syarat menjadi Presiden RI sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (1) UUD 45.

Saya menyimak surat terbuka Adik Ahok di berbagai media online dan meminta saya agar mohon maaf karena menyinggung kewarganegaraan ayah mereka. Kalau sekiranya saya salah dan keliru, tentu saya dengan segala kerendahan hati saya akan memohon maaf. Namun yang menjadi pertanyaan saya: adal(k)ah yang salah dan keliru dalam pidato saya di Medan itu?

Berikut pidato Yusril