Jumat, 03 November 2017

Diduga Terima Rp 6 Miliar, Pejabat BPN Pusat Ditahan


Priyono, Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Pembatalan Wilayah I Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat dijebloskan ke tahanan. Ia diduga menerima suap Rp 6 miliar terkait pengurusan sertipikat tanah.

Suap itu diterima ketika Priyono menjabat kepala BPN di sejum­lah daerah. Penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung masih mendalami dugaan adanya ok­num lain yang terlibat kasus ini.

"Bagaimana teknis pemberian gratifikasi dilakukan serta apakahmasih ada keterlibatan peja­bat lainnya, sedang ditelusuri," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, M Rum.

Ia menandaskan, penetapan status tersangka kepada Priyono dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan peny­idik. Di antaranya aliran dana dari pihak pemohon sertipikat la­han atau tanah. "Masih didalami. Dikembangkan pemeriksaannya ke beberapa daerah," ucapnya.

Priyono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau huruf 12 B atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Menambahkan keterangan tersebut, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Warih Sadono menyatakan, penyidik masih mengumpulkan keterangan dari saksi tambahan.

Saksi-saksi itu tersebar di beberapa daerah wilayah Jawa Tengah. Disebutkan, dugaan penyimpangan ditemukan saat tersangka berdinas di BPN Sukoharjo, Pekalongan, dan Semarang.

"P dalam periode 2006-2009 saat menjabat di BPN Semarang dan 2009-2011 saat menjabat di BPN Sukoharjo, lalu selaku kepala kantor di Pekalongan 2011-2012 dan selaku kepala kantor BPN Semarang 2012-2014," ungkap Warih.

Diduga, selama menjabat di wilayah tersebut pada 2006 sampai 2014, tersangka telah menerima uang sejumlah Rp 6 miliar. Yang menurut dia perlu ditindaklanjuti saat ini adalah, bagaimana teknis pengumpulan dana-dana kutipan tersebut.

"Apakah diberikan oleh pemohon sertipikat secara su­karela atau ada unsur paksaan," kata bekas Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Termasuk di dalamnya, apak­ah ada patokan uang suap yang ditetapkan tersangka serta ke mana saja dana-dana tersebut dialirkan tersangka.

"Untuk apa saja dana-dana yang diterima pada periode 2006-2014 itu," ujar Warih.

Dia menduga, pola yang di­laksanakan untuk memuluskan kejahatan tersangka selama dela­pan tahun, sama. "Saat ini sudah ada penyidik yang telah disebar untuk melengkapi bukti-bukti," kata Warih.

Untuk mempermudah pe­meriksaan terhadap Piyono, penyidik memutuskan melaku­kan penahanan. Untuk tahap pertama, Priyono ditahan se­lama 20 hari di Rutan Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

Warih menandaskan, peny­idikan kasus ini juga akan diar­ahkan ke internal BPN. "Siapa yang ikut menerima dana hasil kejahatan itu, apakah ada yang membantu tersangka melak­sanakan kejahatannya selama menjabat kepala kantor BPNdi daerah," ujarnya.

Bila terbukti ada keterlibatan pihak lainnya, Warih menegaskan,penyidik tidak ragu-ragu untuk kembali menetapkan status tersangka, baik dalam kapasitas pemberi atau penerima suap.

Warih belum bersedia mem­berikan keterangan, apakah tindakan tersangka menerima suap dilakukan atas perintah atasan. "Soal itu sudah masuk materi perkara. Nanti, sedang kita kembangkan penyidikan­nya," sergahnya.


Kilas Balik 

Delapan Pegawai BPN Surabaya Dicokok Polisi

Pungli Biaya Ukur Tanah

Polisi membongkar praktik pungli dalam proses pembuatan surat tanah di Surabaya, Jawa Timur. Lima oknum pegawai Badan Pertanahanan (BPN) Surabaya IIdiciduk.

Mereka yakni Slamet (Kepala Sub Seksi Tematik dan Potensi Tanah), Chalidah Nazar dan Aris Prasetya (Staf Seksi Pengukuran Tanah), serta dua pegawai hon­orer, Bayu Sasmito dan Alvin Nurahmad Rivai.

"Kelimanya langsung di­tahan," kata Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Komisaris Besar M Iqbal.

Iqbal menjelaskan, modus pungli yang dilakukan oknum pegawai BPN Surabaya IIadalah meminta bea tambahan untuk pengukuran tanah di luar tarif resmi. "Bea tambahan pengu­kuran tanah itu sudah dipatok," ujarnya.

Besar pungli bervariasi tergantung luas tanah. "Jadi setelah pemohon membayar tarif sesuai luas tanah, pemohon dimintai uang tambahan untuk percepatan den­gan nominal variatif sesuai dengan luas tanah," ungkap Iqbal.

Jika tidak bersedia membayar pungli, proses pengukuran tanah akan diperlambat. Pemohon diminta membayar pungli ke rekening Bayu Sasmito di Bank Jatim. "Di akhir bulan uang yang terkumpul di rekening dibagi ke­pada seluruh Seksi Pengukuran," ungkap Iqbal.

Selain mencokok kelima ok­num, polisi juga menggeledah ruang kerja mereka. Dari laci meja kerja Chalidah ditemukan uang tunai Rp 8 juta, 3 lembar bukti setoran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Bank Jatim dari pemohon pengukuran tanah, 12 berkas permohonan pengukuran tanah dan 1 buku rekening Bank Jatim atas nama Bayu Sasmito.

Menurut Iqbal, penyidik masih menelusuri besarnya pungli yang dikumpulkan dari rekening Bayu. "Kita masih menelusuri keberadaan uang-uang lain yang diduga berhubungan dengan perkara ini," ujarnya.

Bekas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya itu mengatakan, penyidik telah meminta Bank Jatim agar memblokir rekening penampungan uang pungli itu.

Kasus ini terbongkar setelah polisi menerima pengaduan dari masyarakat mengenai adanya biaya tambahan dalam proses pengukuran tanah. "Kita meng­gali keterangan saksi-saksi yang diduga menjadi korban dari praktik tersebut," katanya.

Kelima oknum pegawai BPN Surabaya II bakal dijerat dengan Pasal 12E dan Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada saat bersamaan, di Rokan Hulu, Riau, polisi juga menciduk tiga oknum BPN setempat yang melakukan pungli. Kapolres Rokan Hulu Ajun Komisaris Besar Yusup Rahmanto men­jelaskan, pelaku diduga meminta sejumlah uang dari Sepriyandi, notaris dan PPAT yang mengurus pembuatan dokumen tanah.

"Adapun barang bukti yang disita uang Rp 11 juta, dua buah Sertipikat Hak Tanggungan, 29 buah Sertipikat Hak Guna Bangunan, dua lembar data berkas permohonan yang belum selesai diurus beserta catatan be­saran uang biaya pengurusan," katanya, kemarin.

Yusup menandaskan, operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan korban, notaris dan pejabat PPAT melakukan transaksi penyerahan uang kepada pejabat BPNRokan Hulu, Junaidi. "Pelaku meminta uang tambahan untuk biaya kepengurusan sertipikat tanah dan bangunan," sebutnya.

Penyerahan uang dilakukankorban kepada pelaku terkait pengurusan pendaftaran Sertipikat Hak Tanggungan dari 35 pemo­hon, serta dua permohonan pengurusan pendaftaran turun waris.

Berdasarkan keterangan sak­si korban, Sepriyadi dan Eni Endahwati, untuk pengurusan dokumen tersebut, mereka te­lah menyetor retribusi resmi di loket kantor BPNRokan Hulu pada Februari 2017 sebesar Rp 10.600.000.

Namun lantaran berkas yang diajukan tidak kunjung selesai, Endahwati menanyakan kelanju­tan proses ke BPNRokan Hulu. Ia kemudian diminta menghadap Junaidi.

Pada Rabu 7 Juni, Endahwati lantas mendatangi kantor Junaidi. Ketika bertemu, Junaidi mem­inta biaya tambahan pengurusan sebesar Rp 22.980.000.

Menurut Yusup, oknum peja­bat BPNitu sempat mengancam jika tak membayar biaya itu, permohonan tak akan diteruskan ke Kepala Kantor BPN.

"Korban akhirnya bersedia membayar. Saat mereka transaksi pada Jumat (9/6/2017), petugas yang sudah mendapat laporan dari korban langsung melakukan OTT," ujar Yusup. ***

copy dari : RMOL.CO