Jumat, 03 November 2017

HGB Pulau Reklamasi Selesai Satu Hari, Sofyan Djalil: Kami Revisi




HGB Pulau Reklamasi Selesai Satu Hari, Sofyan Djalil: Kami Revisi
Sofyan Djalil diadukan ke Ombudsman RI terkait pemberian sertifikat pulau reklamasi C dan D di Teluk Jakarta.

Jum'at 3/11/2017, 15.45 WIB

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengaku merevisi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan kepada pengembang Pulau D dalam reklamasi Teluk Jakarta. Pulau buatan itu sebelumnya mendapat sertifikat HGB dari BPN DKI Jakarta Utara pada hari yang sama dengan surat diajukan, yakni 23 Agustus 2017.

Sofyan menyatakan, sertifikat HGB yang lalu diberikan seluruhnya kepada pengembang PT Kapuk Naga Indah (KIN) yang mengelola Pulau D. Menurutnya, pemberian sertifikat tersebut keliru.

"Kemarin HGB yang dikeluarkan 100% (kepada PT KIN) itu keliru, kami perbaiki," kata Sofyan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Jumat (3/11). (Baca: KPK: BPN Terburu-buru Terbitkan Sertifikat Reklamasi Pulau C dan D)

Dalam revisi, Sofyan menyebut pengembang hanya memiliki 51,5% HGB dari seluruh pulau D. Adapun, sisanya diberikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Selebihnya itu untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum Pemprov DKI Jakarta," kata Sofyan.

Menurut Sofyan, pihaknya telah mengeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) maupun HGB sesuai aturan. HPL, kata dia, diberikan kepada Pemprov DKI karena pulau reklamasi C dan D berada di bawah kewewnangannya.

"Kemudian Pemprov DKI punya perjanjian dengan pengembang, kami berikan HGB," kata Sofyan. (Baca: Luhut: Silakan Anies Hentikan Reklamasi Jakarta, Asal Sesuai Aturan)

Adapun terhadap pelaporan dirinya dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara Kasten Situmorang terkait pemberian sertifikat HPL dan HGB Pulau C dan D ke Ombudsman RI, Sofyan menyatakan tak mempersoalkannya. "Itu hak masyarakat lah," kata Sofyan.

Sofyan dilaporkan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) atas dugaan maladministrasi dalam pemberian HPL dan HGB Pulau C dan Pulau D. Pelaporan tersebut disampaikan hari ini di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (3/11).

KSTJ sebelumnya menyatakan keberatan atas terbitnya HPL dan HGB Pulau C dan Pulau D proyek reklamasi Teluk Jakarta kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Keberatan ini dituangkan dalam surat Nomor 014/SK/KSTJ/VIII/2017 tentang Permohonan Pembatalan Pemberian Hak Pengelolaan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka proyek reklamasi Pulau C dan Pulau D di Teluk Jakarta tertanggal 14 Agustus 2017.

Keberatan itu dilayangkan karena KSTJ menilai ada banyak masalah hukum yang membuat HPL dan HGU tersebut tidak layak terbit. Hal tersebut, salah satunya karena izin lingkungan baru diajukan setelah Pulau C dan Pulau D berdiri.

Selain itu, pembangunan pulau yang menyatu juga dinilai bertentangan dengan Lampiran I Gambar 24 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030.

KSTJ juga menilai tidak adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota, dan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Kota sebelum diterbitkannya HGB dan HPL. Hal ini dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

HPL dan HGB juga dianggap cacat karena untuk melakukan reklamasi di Teluk Jakarta seharusnya ada Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang diperlukan dalam pembangunan reklamasi juga sampai saat ini belum ada.

Namun, hingga pengaduan ke Ombudsman dilakukan tidak ada respon ataupun jawaban atas keberatan yang diajukan oleh KSTJ. KSTJ menilai hal tersebut menandakan bahwa Menteri ATR/BPN telah turut serta dalam berbagai pelanggaran hukum yang terdapat dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, khususnya pulau C dan D.

"Pelanggaran hukum tersebut termasuk dalam kriteria maladministrasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia," kata Perwakilan KSTJ dari LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.

Terhadap laporan ini, KSTJ berharap Ombudsman Republik Indonesia dengan kewenangannya dapat segera melakukan investigasi terhadap dugaan maladministrasi dalam pemberian HPL dan HGB. KSTJ juga mengeluarkan rekomendasi mengenai penyelesaian terhadap laporan dugaan maladministrasi tersebut.


copy dari : katadata.co.id

Benarkah Daya Beli Masyarakat Berkurang ?

Diberi Info Hoax Oleh Menteri Penjilat, Jokowi Akhirnya Akui Daya Beli Rakyat Turun


Selasa, 31 Oktober 2017

Jakarta, Hanter - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sebagai solusi untuk memperkuat daya beli masyarakat yang akhir-akhir ini melemah, dirinya saat ini sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membuat proyek padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Presiden memerintahkan bayaran proyek tersebut harus tunai. "Perpres akan keluar pada Januari 2018," kata Jokowi, dalam pertemuan dengan para Pemimpin Redaksi (Pemred) media massa, di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin (30/10/2017).

Menanggapi pernyataan presiden ini ekonom senior Dr Rizal Ramli menyambut positif. Menurut mantan Menko Maritim dan Sumber Daya ini, proyek padat karya merupakan solusi tepat Presiden Jokowi untuk meningkatkan daya beli menengah bawah.

“Pak Jokowi akhirnya akui daya beli rakyat turun, setelah sebelumnya diberi informasi hoax oleh menteri penjilat. Proyek padat karya itu solusi tepat untuk mengkatrol daya beli masyarakat,” papar Rizal Ramli kepada Harian Terbit, Senin (30/102017) malam.

Sebelumnya Rizal Ramli mengatakan bahwa ada menteri Kabinet Kerja yang menyesatkan Presiden Joko Widodo dengan informasi palsu atau hoax. Dirinya juga mencermati serta berikan kritik pada menteri yang tidak memberi penjelasan yang sebenarnya kepada presiden tentang daya beli masyarakat.

“Presiden di sidang kabinet tidak diberi penjelasan yang benar, termasuk juga presiden diberikan informasi daya beli enggak turun, itu informasi hoax oleh menteri penjilat,” tuding Rizal.

Kenyataan yang riil, lanjut Rizal, daya beli betul-betul turun. Saya bicara dengan kalangan bisnis dan rakyat biasa, loh kok presiden bisa dilaporin daya beli enggak turun? Nah, informasi enggak benar ini lebih bahaya dari masalahnya sendiri,” ucap Rizal.

Bayar Tunai

Presiden Jokowi memerintahkan Kementerian Desa Transmigrasi dan Daerah Tertinggal, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pertanian, untuk menyiapkan aturan teknis proyek padat karya tersebut secara lebih detil. Yang jelas, dalam proyek padat karya tersebut, honor untuk pekerjanya harus dibayarkan secara harian dan tunai.

"Harus dibayar langsung tunai. Mingguan, atau kalau bisa harian, tidak boleh bulanan. Agar ada imbas memperkuat daya beli," tegas Jokowi.

Untuk Kementerian Desa, Jokowi menginstruksikan agar proyek padat karya tersebut minimal bisa menyedot 200 tenaga kerja di setiap desa. Perlu diketahui, jumlah desa di Indonesia saat ini ada 74 ribu desa dan dana desa untuk 2018 sebesar Rp 60 triliun.

Dengan demikian, belasan juta tenaga kerja diharapkan akan terserap lewat proyek padat karya Kementerian Desa saja, belum kementerian yang lain.

"Bila dihitung 200 tenaga kerja kali 74 ribu desa, ada hampir 15 juta sendiri tenaga kerja yang terserap," papar Jokowi.

Jokowi juga menegaskan, tidak akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya, sebagai cara instan untuk mengatrol daya beli masyarakat. "Enggak. Enggak akan beri BLT," tegas Jokowi.

(Ale)

copy dari : harianterbit


Diduga Terima Rp 6 Miliar, Pejabat BPN Pusat Ditahan


Priyono, Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Pembatalan Wilayah I Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat dijebloskan ke tahanan. Ia diduga menerima suap Rp 6 miliar terkait pengurusan sertipikat tanah.

Suap itu diterima ketika Priyono menjabat kepala BPN di sejum­lah daerah. Penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung masih mendalami dugaan adanya ok­num lain yang terlibat kasus ini.

"Bagaimana teknis pemberian gratifikasi dilakukan serta apakahmasih ada keterlibatan peja­bat lainnya, sedang ditelusuri," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, M Rum.

Ia menandaskan, penetapan status tersangka kepada Priyono dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan peny­idik. Di antaranya aliran dana dari pihak pemohon sertipikat la­han atau tanah. "Masih didalami. Dikembangkan pemeriksaannya ke beberapa daerah," ucapnya.

Priyono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau huruf 12 B atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Menambahkan keterangan tersebut, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Warih Sadono menyatakan, penyidik masih mengumpulkan keterangan dari saksi tambahan.

Saksi-saksi itu tersebar di beberapa daerah wilayah Jawa Tengah. Disebutkan, dugaan penyimpangan ditemukan saat tersangka berdinas di BPN Sukoharjo, Pekalongan, dan Semarang.

"P dalam periode 2006-2009 saat menjabat di BPN Semarang dan 2009-2011 saat menjabat di BPN Sukoharjo, lalu selaku kepala kantor di Pekalongan 2011-2012 dan selaku kepala kantor BPN Semarang 2012-2014," ungkap Warih.

Diduga, selama menjabat di wilayah tersebut pada 2006 sampai 2014, tersangka telah menerima uang sejumlah Rp 6 miliar. Yang menurut dia perlu ditindaklanjuti saat ini adalah, bagaimana teknis pengumpulan dana-dana kutipan tersebut.

"Apakah diberikan oleh pemohon sertipikat secara su­karela atau ada unsur paksaan," kata bekas Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Termasuk di dalamnya, apak­ah ada patokan uang suap yang ditetapkan tersangka serta ke mana saja dana-dana tersebut dialirkan tersangka.

"Untuk apa saja dana-dana yang diterima pada periode 2006-2014 itu," ujar Warih.

Dia menduga, pola yang di­laksanakan untuk memuluskan kejahatan tersangka selama dela­pan tahun, sama. "Saat ini sudah ada penyidik yang telah disebar untuk melengkapi bukti-bukti," kata Warih.

Untuk mempermudah pe­meriksaan terhadap Piyono, penyidik memutuskan melaku­kan penahanan. Untuk tahap pertama, Priyono ditahan se­lama 20 hari di Rutan Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

Warih menandaskan, peny­idikan kasus ini juga akan diar­ahkan ke internal BPN. "Siapa yang ikut menerima dana hasil kejahatan itu, apakah ada yang membantu tersangka melak­sanakan kejahatannya selama menjabat kepala kantor BPNdi daerah," ujarnya.

Bila terbukti ada keterlibatan pihak lainnya, Warih menegaskan,penyidik tidak ragu-ragu untuk kembali menetapkan status tersangka, baik dalam kapasitas pemberi atau penerima suap.

Warih belum bersedia mem­berikan keterangan, apakah tindakan tersangka menerima suap dilakukan atas perintah atasan. "Soal itu sudah masuk materi perkara. Nanti, sedang kita kembangkan penyidikan­nya," sergahnya.


Kilas Balik 

Delapan Pegawai BPN Surabaya Dicokok Polisi

Pungli Biaya Ukur Tanah

Polisi membongkar praktik pungli dalam proses pembuatan surat tanah di Surabaya, Jawa Timur. Lima oknum pegawai Badan Pertanahanan (BPN) Surabaya IIdiciduk.

Mereka yakni Slamet (Kepala Sub Seksi Tematik dan Potensi Tanah), Chalidah Nazar dan Aris Prasetya (Staf Seksi Pengukuran Tanah), serta dua pegawai hon­orer, Bayu Sasmito dan Alvin Nurahmad Rivai.

"Kelimanya langsung di­tahan," kata Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Komisaris Besar M Iqbal.

Iqbal menjelaskan, modus pungli yang dilakukan oknum pegawai BPN Surabaya IIadalah meminta bea tambahan untuk pengukuran tanah di luar tarif resmi. "Bea tambahan pengu­kuran tanah itu sudah dipatok," ujarnya.

Besar pungli bervariasi tergantung luas tanah. "Jadi setelah pemohon membayar tarif sesuai luas tanah, pemohon dimintai uang tambahan untuk percepatan den­gan nominal variatif sesuai dengan luas tanah," ungkap Iqbal.

Jika tidak bersedia membayar pungli, proses pengukuran tanah akan diperlambat. Pemohon diminta membayar pungli ke rekening Bayu Sasmito di Bank Jatim. "Di akhir bulan uang yang terkumpul di rekening dibagi ke­pada seluruh Seksi Pengukuran," ungkap Iqbal.

Selain mencokok kelima ok­num, polisi juga menggeledah ruang kerja mereka. Dari laci meja kerja Chalidah ditemukan uang tunai Rp 8 juta, 3 lembar bukti setoran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Bank Jatim dari pemohon pengukuran tanah, 12 berkas permohonan pengukuran tanah dan 1 buku rekening Bank Jatim atas nama Bayu Sasmito.

Menurut Iqbal, penyidik masih menelusuri besarnya pungli yang dikumpulkan dari rekening Bayu. "Kita masih menelusuri keberadaan uang-uang lain yang diduga berhubungan dengan perkara ini," ujarnya.

Bekas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya itu mengatakan, penyidik telah meminta Bank Jatim agar memblokir rekening penampungan uang pungli itu.

Kasus ini terbongkar setelah polisi menerima pengaduan dari masyarakat mengenai adanya biaya tambahan dalam proses pengukuran tanah. "Kita meng­gali keterangan saksi-saksi yang diduga menjadi korban dari praktik tersebut," katanya.

Kelima oknum pegawai BPN Surabaya II bakal dijerat dengan Pasal 12E dan Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada saat bersamaan, di Rokan Hulu, Riau, polisi juga menciduk tiga oknum BPN setempat yang melakukan pungli. Kapolres Rokan Hulu Ajun Komisaris Besar Yusup Rahmanto men­jelaskan, pelaku diduga meminta sejumlah uang dari Sepriyandi, notaris dan PPAT yang mengurus pembuatan dokumen tanah.

"Adapun barang bukti yang disita uang Rp 11 juta, dua buah Sertipikat Hak Tanggungan, 29 buah Sertipikat Hak Guna Bangunan, dua lembar data berkas permohonan yang belum selesai diurus beserta catatan be­saran uang biaya pengurusan," katanya, kemarin.

Yusup menandaskan, operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan korban, notaris dan pejabat PPAT melakukan transaksi penyerahan uang kepada pejabat BPNRokan Hulu, Junaidi. "Pelaku meminta uang tambahan untuk biaya kepengurusan sertipikat tanah dan bangunan," sebutnya.

Penyerahan uang dilakukankorban kepada pelaku terkait pengurusan pendaftaran Sertipikat Hak Tanggungan dari 35 pemo­hon, serta dua permohonan pengurusan pendaftaran turun waris.

Berdasarkan keterangan sak­si korban, Sepriyadi dan Eni Endahwati, untuk pengurusan dokumen tersebut, mereka te­lah menyetor retribusi resmi di loket kantor BPNRokan Hulu pada Februari 2017 sebesar Rp 10.600.000.

Namun lantaran berkas yang diajukan tidak kunjung selesai, Endahwati menanyakan kelanju­tan proses ke BPNRokan Hulu. Ia kemudian diminta menghadap Junaidi.

Pada Rabu 7 Juni, Endahwati lantas mendatangi kantor Junaidi. Ketika bertemu, Junaidi mem­inta biaya tambahan pengurusan sebesar Rp 22.980.000.

Menurut Yusup, oknum peja­bat BPNitu sempat mengancam jika tak membayar biaya itu, permohonan tak akan diteruskan ke Kepala Kantor BPN.

"Korban akhirnya bersedia membayar. Saat mereka transaksi pada Jumat (9/6/2017), petugas yang sudah mendapat laporan dari korban langsung melakukan OTT," ujar Yusup. ***

copy dari : RMOL.CO