Selasa, 23 Februari 2016

Empat Pilar Antisipasi LGBT dan Radikalisme Agama

Tempo - Selasa, 23 Februari 2016
 
Ketua Badan Sosialisasi MPR Ahmad Basarah menegaskan, setiap fenomena yang berkembang di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Hal tersebut diungkapkan setelah rapat pleno Badan Sosialisasi MPR di Pontianak, Kalimantan Barat, 22 Februari 2016.

Ia berujar, Badan Sosialisasi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan tugas ini, Badan Sosialisasi merespons beberapa isu strategis sebagai tugas yang harus dilaksanakan.

Dikatakan oleh Ahmad Basarah, badan yang dipimpinnya itu mensinyalir masuknya ideologi yang bergerak secara trans-nasional. “Pertama, ideologi yang mengedepankan individualisme, kapitalisme, dengan modus operandinya untuk membuat bangsa ini menganut paham neoliberalisme. Kedua, berkembangnya radikalisme agama, radikalisme internasional yang ingin menjadikan negara ini menjadi negara dengan dasar salah satu agama,” ucapnya.

Menurut Ahmad Basarah, dua aliran tersebut ingin bereksperimen memaksakan kehendaknya di Indonesia. Salah satu bukti paham individualisme yang muncul adalah fenomena LGBT. Untuk itu, Ahmad Basarah menegaskan, bila masyarakat tak diberi pemahaman yang benar, sangat berbahaya.

“LGBT bertentangan dengan Pancasila. Badan Sosialisasi merespons sesuatu yang mempunyai dampak berarti di masyarakat. Karena itu, Badan Sosialisasi akan mengundang Badan Pengkajian untuk membahas masalah-masalah di atas,” tutur Basarah.

Diungkapkan lebih dalam, Badan Sosialisasi juga mengantisipasi momentum amandemen terbatas. Diskursus GBHN yang merupakan rekomendasi MPR pada periode sebelumnya merupakan fokus dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945.

“Badan Sosialisasi ingin memberi persepsi yang utuh sehingga wacana amandemen tak bias. Badan Sosialisasi mempunyai harapan dalam mengembalikan GBHN, perlu dikaji dalam Badan Pekerja MPR dengan penuh seksama,” katanya. (*)

copy : tempo

Menteri Pertahanan: LGBT Itu Bagian dari Proxy War

https://cdn.tmpo.co/data/2016/01/07/id_470763/470763_620.jpg
TEMPO/Imam Sukamto




Tempo - Selasa, 23 Februari 2016

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menilai fenomena kemunculan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia sebagai bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa, tanpa perlu mengirim pasukan militer.

"Sejak 15 tahun lalu, saya sudah buat (tulisan) perang modern, itu sama modelnya. Perang murah meriah," katanya di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa, 23 Februari 2016.

Menurut Ryamizard, ancaman perang proksi itu berbahaya bagi Indonesia karena negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung berhadapan. Karena itu, fenomena pendukung LGBT yang meminta komunitasnya dilegalkan tersebut wajib diwaspadai.

"(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya," kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini.

Ryamizard menjelaskan, perang proksi itu menakutkan lantaran musuh tidak diketahui. Kalau melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan.

"Kalau perang proksi, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang modern, semua hancur. Itu bahaya," tuturnya.

Ryamizard menambahkan, perang modern tidak lagi melalui senjata, melainkan menggunakan pemikiran.

"Tidak berbahaya perang alutsista, tapi yang berbahaya cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap ideologi negara," ucapnya.

copy : tempo