Sosoknya dikenal sebagai tangan kanan Soeharto. Ia menggunakan siasat
"Pancing dan Jaring" untuk memberangus gerakan Islam. Umat Islam
disusupi dan dipancing untuk bertindak ekstrem, setelah itu dijaring
untuk diberangus atau dikendalikan.
Namanya Ali Moertopo. Meski
Muslim, dalam karir intelijen dan militernya ia dikenal sebagai arsitek
pemberangus gerakan Islam pada masa Orde Baru.
Ia menjadikan
umat Islam sebagai lawan, bukan kawan. Untuk memuluskan misinya, ia
berkolaborasi dengan kelompok anti-Islam, di antaranya kelompok Serikat
Jesuit, kejawen, dan para pengusaha naga yang menjadi pilar kekuatan
Orde Baru. Mereka tak hanya mengebiri kekuatan Islam secara politik,
tetapi juga memarjinalkan perekonomian umat Islam.
Ali Moertopo
dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924. Sebagai tangan
kanan penguasa Orede Baru, Seoharto, beberapa jabatan mentereng di
dunia militer, intelijen, dan pemerintahan pernah dipegangnya, yaitu;
Deputi Kepala Operasi Khusus (1969-1974), Wakil Kepala Bidang Intelijen
Negara (1974-1978), Penasihat Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Golkar,
dan Menteri Penerangan RI (1978-1983).
Hampir semua posisi dan
karir yang didudukinya, berkaitan dengan upaya menyingkirkan peranan
umat Islam dan memberangus gerakan Islam. Pada pemilu tahun 1971,
Moertopo memobilisasi kekuatan militer untuk menekan para mantan anggota
Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memilih Golkar. Sedangkan saat
menjabat sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus), lembaga yang dikenal
angker pada saat itu, Ali Moertopo banyak melakukan upaya-upaya
penyusupan (desepsi, penggalangan dan pemberangusan gerakan Islam).
Siasat
"Pancing dan Jaring" digunakan oleh Moertopo untuk menyusup ke kalangan
Islam, melakukan pembusukan dengan berbagai upaya provokasi, kemudian
memberangusnya. Operasi intelijen tersebut pada saat ini mirip dengan
apa yang dilakukan oleh Densus 88, sebuah detasemen yang juga
dikendalikan oleh musuh-musuh Islam, dengan tujuan yang sama. Beberapa
peristiwa seperti Komando Jihad, tragedi Haur Koneng, penyerangan Polsek
Cicendo, Jamaah Imran, dan Tragedi pembajakan pesawat Woyla, tak lepas
dari siasat licik Moertopo. Stigma "ekstrem kanan" yang ditujukan kepada
umat Islam dan "ekstrem kiri" yang ditujukan kepada anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga hasil dari kerja
intelijen Moertopo.
Umat Islam dipancing, kemudian dijaring dan
diberangus. Sebagian yang tak kuat iman, dikendalikan kemudian digalang
untuk bekerjasama dengan penguasa. Pada peristiwa Komando Jihad
misalnya, simpatisan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII),
dipropaganda dan dimobilisasi oleh Ali Moertopo untuk melakukan
perlawanan terhadap ancaman Komunis dari Utara (Vietnam). Ali Moertopo
kemudian mendekati beberapa orang tokoh DI, yaitu Haji Ismail Pranoto,
Haji Danu Muhammad Hassan, Adah Djaelani, dan Warman untuk menggalang
kekuatan umat Islam, yang memang sangat memendam luka sejarah terhadap
komunisme.
Setelah ribuan umat Islam termobilisasi di Jawa dan
Sumatera, dengan siasat liciknya, Moertopo kemudian menuduh umat Islam
akan melakukan tindakan subversif dengan mendirikan Dewan Revolusi Islam
lewat sebuah organisasi "Komando Jihad (KOMJI)". Mereka kemudian
digulung dan dicap sebagai "ekstrem kanan". Istilah "Komando Jihad"
muncul pada tahun 1976 sampai 1982. Selain KOMJI, rekayasa intelijen
juga terlihat jelas dalam kasus Jamaah Imran, Cicendo, dan pembajakan
pesawat DC-9 Woyla. Jamaah Imran adalah kumpulan anak-anak muda yang
dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein, pria asal Medan. Aktivitas
kelompok yang didirikan pada 7 Desember 1975 ini berpusat di Bandung,
Jawa Barat.
Ali Moertopo
Kelompok ini berobsesi ingin
membangun sebuah komunitas Muslim yang melaksanakan syariat Islam secara
murni. Untuk menjalankan misinya, menurut laporan intelijen, mereka
mendirikan Dewan Revolusi Islam Indonesia (DRII). Istilah Jamaah Imran
juga diberikan oleh aparat, bukan penamaan yang dibuat kelompok anak
muda tersebut. Kasus Jamaah Imran mencuat ke publik saat terjadi
penyerangan Polsek Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Peristiwa itu
bermula ketika polisi menahan anggota jamaah tersebut karena kasus
kecelakaan. Kemudian mereka berusaha membebaskan anggotanya dengan
melakukan penyerangan bersenjata. Peristiwa berdarah itu menjadi
legitimasi aparat untuk melakukan penangkapan anggota Jamaah tersebut.
Peristiwa
Cicendo berlanjut dengan aksi pembajakan pesawat terbang DC 9 Woyla GA
208 dengan rute Jakarta-Palembang pada Sabtu, 28 Maret 1981. Pembajakan
tersebut dilakukan oleh lima orang anggota Jamaah Imran dengan
membelokkan pesawat menuju Bandara Don Muang, Thailand. Drama pembajakan
ini berhasil ditumpas oleh Pasukan Khusus TNI di bawah pimpinan LB
Moerdani dan Sintong Pandjaitan. Mengapa sekelompok anak muda itu begitu
radikal dan berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah? Setelah
diusut, sikap radikal kelompok itu ternyata diciptakan oleh seorang
intel ABRI yang bernama Johny alias Najamuddin yang menyusup dalam
Jamaah Imran.
Johny yang sudah diterima oleh jamaah tersebut
kemudian melakukan beragam provokasi dengan menebar kebencian kepada
ABRI. Johny kemudian 'membeberkan rahasia' ABRI yang dikatakan akan
melakukan de-islamisasi di Indonesia. Untuk itu, Johny merencanakan
agenda besar: melakukan perlawanan terhadap ABRI. Di tengah sikap ABRI
yang memang telah membuka "front" terhadap umat Islam, para anggota
Jamaah Imran kemudian terbujuk dengan gagasan Johny.
Tanpa
sepengetahuan para anggota jamaah lainnya, Johny membuat dokumentasi
setiap aktivitas yang dilakukan jamaah tersebut. Dengan skenario licik,
Johny kemudian membuat rencana untuk melakukan operasi pencurian senjata
api di Pusat Pendidikan Perhubungan TNI AD pada 18 November 1980.
Senjata curian itulah yang kemudian dilakukan untuk menyerang Polsek
Cicendo. Anehnya, Johny yang telah menghasut anggota Jamaah Imran untuk
menyerang markas polisi tersebut, ternyata tak menampakkan batang
hidungnya saat peristiwa terjadi. Bahkan saat polisi melakukan aksi
besar-besaran untuk menangkap Jamaah Imran, Johny 'lolos' dari
penangkapan.
Johny akhirnya tewas dieksekusi anggota Jamaah ini
di suatu tempat. Saat persidangan kasus ini digelar di pengadilan,
majelis hakim menolak untuk membuka identitas Johny. Selain itu, Jaksa
penuntut umum juga selalu mementahkan usaha untuk mengorek identitas
pria itu lebih dalam. Jenderal Soemitro, seniornya Ali Moertopo di
lingkungan militer, dalam biografinya menyebut kasus Jamaah Imran,
peristiwa penyerangan terhadap Golkar di Lapangan Banteng, dan
pembajakan Pesawat Woyla sebagai rekayasa Opsus (Operasi Khusus) Ali
Moertopo yang menerapkan teori "Pancing dan Jaring".
Dalam
kasus Jamaah Imran, kata Seomitro, Opsus memakai tokoh Imran yang
bernama asli Amran. Selama lima tahun Imran dibiayai oleh Ali Moertopo
belajar di Libya untuk mempelajari Islam dan ilmu terorisme. Imran
Kemudian dimunculkan sebagai sosok yang ingin mendirikan Negara Islam
Indonesia kembali. Soemitro juga menceritakan, laporan intelijen
menyebut tujuan operasi Woyla untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto
dan mendiskreditkan umat Islam. Operasi ini ingin memunculkan kesan
bahwa kelompok Islam cenderung radikal dan masih memiliki keinginan
untuk mendirikan negara Islam seperti halnya DI/TII.
Inilah
yang kata Soemitro disebut sebagai teori "Pancing dan Jaring", dimana
umat Islam dirangkul (dibina, pen) terlebih dahulu, lalu dikipasi untuk
memberontak, baru kemudian ditumpas sendiri oleh Opsus.
Jenderal
Soemitro menceritakan, "Kecurigaan saya terhadap kasus Woyla, mulai
muncul, ketika ada laporan bahwa sebetulnya Panglima Angkatan Bersenjata
(Pangab) Jenderal TNI M Jusuf akan membawa Awaloedin Djamin yang
notabene memiliki pasukan anti-teror untuk menyelasaikan kasus
pembajakan tersebut.
Namun, rencana itu tiba-tiba berubah tanpa
sepengetahuan Jusuf, tidak tahu siapa yang mengubahnya. Akhirnya yang
berangkat bukan lagi pasukan Awaloedin Djamin, melainkan pasukan RPKAD
yang dipimpin Sintong Pandjaitan.
Ini yang menjadi pertanyaan
sampai sekarang, mengapa RPKAD yang berangkat, bukannya polisi. Dari
situ saya bisa menganalisis bahwa ada dua komando, yakni yang langsung
ke jalur Pangab, dan satunya lagi: Jalur invisible hand!" (Lihat,
biografi Jenderal Soemitro yang ditulis oleh Ramadhan K.H, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994 dan buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib
Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Untuk memuluskan langkah-langkah politik Islamophobia,
kelompok militer anti-Islam yang dikomandoi oleh Ali Moertopo, oknum
pengusaha etnik Cina, Serikat Jesuit, dan pejabat sekular-kejawen,
mendirikan sebuah lembaga think tank bernama Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) pada 1 September 1971, bermarkas di Tanah
Abang III, Jakarta Pusat. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani
(penasihat kebatinan Soeharto) menjadi sosok yang berada di belakang
CSIS. Lembaga ini kemudian membuat masterplan pembangunan Orde Baru yang
sangat menguntungkan pemerintah, pengusaha etnik Cina dan kelompok
Kristen.
Sementara umat Islam dianggap sebagai bahaya yang
mengancam, yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Mereka masih
menjadikan isu "Darul Islam" sebagai jualan untuk memberangus gerakan
Islam. Selain pula mewaspadai kebangkitan Islam politik yang pada masa
lalu direpresentasikan melalui kekuatan Partai Masyumi. Kelompok Kristen
dan oknum pengusaha etnik Cina yang merapat ke militer, meyakinkan
pemerintah dan tentara, bahwa jika umat Islam berkuasa, maka akan
terjadi diktator mayoritas, dimana penegakan syariat Islam akan
diberlakukan.
Pemerintah yang ketika itu mabuk kekuasaan dan
tentara yang diindoktrinasi untuk mewaspadai ancaman terhadap
kebhinekaan Pancasila, kemudian termakan isu tersebut, sehingga
memposisikan umat Islam sebagai bahaya. Agenda politik kelompok anti
Islam ini berhasil menciptakan konglomerasi dan gurita bisnis antara
penguasa dan pengusaha. Di antara jaringan bisnis tersebut adalah Pan
Group milik Panlaykim dan Mochtar Riady, PT Tri Usaha Bakti milik
Soedjono Hoemardani, Pakarti Grup milik Lim Bian Kie dan Panlaykim, dan
Berkat Grup milik Yap Swie Kie.
Masuknya kekuatan konglomerat
dalam lingkaran Orde Baru membuat rezim tersebut semakin kuat. Karena
itu, ada yang mengatakan bahwa Orde Baru dibangun oleh empat pilar
kekuatan, yaitu ABRI, Birokrat, Golkar dan konglomerat. Keempat pilar
tersebut memainkan peran penting dalam memarjinalkan peran politik umat
Islam saat itu. Kolaborasi rezim Orba dengan pengusaha Katolik/Cina di
antaranya dengan membuat kebijakan yang memotong urat nadi ekonomi umat
Islam dan menghidupkan kelompok kecil Cina keturunan.
Sentra-sentra
ekonomi umat Islam seperti di Pekalongan, Solo, Pekajangan, Majalaya,
dan lain-lain, dengan aneka kebijakan pemerintah dapat dikerdilkan.
Jaringan perbankan dan sektor keuangan lainnya juga berhasil mereka
kuasai. Karena itu, ketika Orba berkuasa, gurita bisnis kelompok ini
begitu perkasa dan dapat memengaruhi kebijakan pemerintah.
Siapa Ali Moertopo sesungguhnya?
Mantan
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mengatakan asal usul Ali Moertopo
sangat gelap, sehingga banyak rumor yang beredar tentang sosoknya.
Ali Moertopo
Kasman
Singodimedjo, tokoh Islam yang pada zaman Soekarno aktif di militer
mengatakan, Ali Moertopo adalah bekas intel tentara Angkatan Laut
Belanda (Netherland Information Service) yang ditangkap Hizbullah di
daerah Tegal, Jawa Tengah. Saat ditangkap, Ali Moertopo nyaris dibunuh.
Ia kemudian dijadikan double agent oleh Hizbullah.
Versi lain,
seperti diceritakan Adam Malik, Ali Moertopo adalah pendiri AKOMA
(Angkatan Komunis Muda) yang berafiliasi pada partai Murba Alimin, yang
berhaluan Sneevliet. Meski tidak percaya bahwa Moertopo bekas pentolan
salah satu organisasi Komunis, Soemitro menceritakan kisah yang
dikait-kaitkan dengan sosok Komunis Moertopo.
Saat ada seorang
staf Moertopo ingin membuat tulisan tentang "Peristiwa Tiga Daerah" yang
menyebutkan Komunis sebagai dalang dari peristwa itu, Moertopo
membentaknya. "Mau Apa? Mau mendiskreditkan saya?"
Moertopo juga
dikenal dekat dengan Kolonel Marsudi, salah seorang anggota PKI yang
pernah menjadi Direktur Opsus. Selama di Opsus, Marsudi selalu berada di
belakang layar dan sangat tertutup.
Marsudi pun disebut-sebut
sebagai pendiri Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi
mahasiswa underbouw PKI. Cerita mengenai ini diungkap dalam buku
biografi Jenderal Soemitro, senior Ali Moertopo di lingkungan militer,
yang ditulis oleh Ramadhan K.H.
Dalam catatan Jenderal
Soemitro, jauh-jauh hari Ali Moertopo sudah merencanakan CSIS dan Opsus
sebagai alat untuk memperkuat dan mengamankan rezim Orba. Ali Moertopo
yang melihat kekuatan Islam sebagai gerakan yang bisa mengancam 'gerak
laju pembangunan', mencari partner yang bisa diajak untuk sama-sama
menjegal gerakan Islam. Dan partner tersebut adalah kelompok Katolik
yang tergabung dalam Ordo Jesuit. Ali Moertopo didekati kelompok ini
karena posisinya sebagai orang dekat Soeharto dan mempunyai pengaruh di
ABRI. Kabarnya, Ali Moertopo sudah didekati kelompok ini sejak tahun
1960-an.
Ali Moertopo sendiri sudah mengetahui bahaya dari
kelompok Orde Jesuit ini, yang ia sebut lebih berbahaya dari komunisme
karena terdiri dari para intelektual adventurir. Namun, kata Ali,
kedekatannya dengan kelompok itu adalah untuk meredam gerakan mereka,
atau dalam bahasanya "untukmengandangkannya ketimbang bergerak liar".
Apakah
dalam rangka "mengandangkan" Orde Jesuit ini juga, kemudian Ali
Moertopo menjadikan rumah Pater Beek (tokoh Jesuit Indonesia) di jalan
Raden Saleh, Jakarta Pusat, sebagai markas Opsus? Saat peristiwa 15
Januari 1974, Ali Moertopo diduga terlibat penunggangan aksi apel
mahasiswa yang menolak kedatangan PM Jepang yang berujung pada kerusuhan
di Jakarta.
Tujuan manuver politik Moertopo adalah untuk
menyingkirkan orang-orang yang mencoba mendekati Soeharto dan menjadi
rival politiknya. Untuk menggambarkan bahwa dia orang yang bisa
mengendalikan kebijakan politik Orde Baru, Benny Moerdani, kadernya
Moertopo, pernah mengatakan, "Kuda boleh berganti, tapi saisnya tetap
satu".
Artinya, siapapun bisa menggantikan Soeharto, asalkan tetap bisa dikendalikan oleh Moertopo dan kelompoknya.
Setelah
peristiwa 15 Januari 1974, Ali Moertopo melakukan lobi politik kepada
Presiden Soeharto untuk memanggil Benny ke Jakarta agar ditempatkan
dalam jajaran penting di militer. Keseriusan Ali Moertopo untuk
menempatkan kadernya dalam posisi strategis di elit militer terlihat
dengan menelepon langsung Benny yang saat itu berada di Korea Selatan.
Kemudian, dengan diantar sendiri oleh Ali Moertopo, Benny menghadap
langsung ke Soeharto. Oleh penguasa Orde Baru itu Benny diserahi jabatan
sebagai Ketua G-I Asisten Intelijen Hankam yang bertugas mengendalikan
seluruh intelijen di Angkatan Darat dan Polri.
Selain itu,
Benny juga ditugaskan untuk membantu Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN). Jika 'Mengenal Sosok Intelijen Anti-Islam' di bagian sebelumnya
mengungkap sosok Ali Moertopo, di bagian ketiga ini menyingkap kader
atau penerusnya Ali Moertopo, yaitu Benny Moerdani yang juga dikenal
sangat memusuhi umat Islam. Benny diduga berada di balik tragedi
berdarah Tanjung Priok, 1984. Pada masanya, militer Indonesia pernah
dilatih di Israel.
Raut wajahnya keras dan kaku. Terkesan
angker dan tak bersahabat. Itulah Leonardus Benjamin "Benny" Moerdani,
sosok jenderal militer pada masa Orde Baru yang dikenal sangat benci
Islam dan kaum Muslimin. Benny Moerdani adalah orang kepercayaan Ali
Moertopo. Benny sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Moertopo untuk
menggantikannya dalam menjalankan tugas mengawasi bahaya "ekstrem
kanan", yang tak lain adalah gerakan Islam.
Benny Moerdani
lahir di Cepu, 2 Oktober 1932. Di kalangan Katolik, jenderal yang
dikenal ahli intelijen ini sangat dibangga-banggakan. Benny bisa
dibilang sebagai representasi kelompok Katolik yang mempunyai posisi
penting dalam lingkaran militer dan kekuasaan Orde Baru pada masa lalu.
Sebagai kader Moertopo, Benny pernah diangkat menjadi wakilnya ketika
terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Ia juga
termasuk sosok yang terlibat dalam pembentukan Centre for International
Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tank yang sangat dekat dengan Orde
Baru, didukung oleh para birokrat Kejawen dan pengusaha etnik Cina yang
saat itu membangun gurita dalam lingkar elit kekuasaan Orde Baru.
Di
kalangan tentara Muslim, Benny Moerdani dikenal sangat tidak aspiratif
terhadap kelompok Islam. Almarhum mantan Kepala Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Ka-BAKIN), Letjend TNI Z.A Maulani pernah mengatakan,
pada masa Benny Moerdani menjadi panglima ABRI, sangat sulit mendapatkan
masjid atau mushalla di komplek dan barak-barak militer.
Keberadaan
tempat ibadah umat Islam tersebut dikontrol begitu ketat. Bahkan, pada
masa itu banyak tentara Muslim yang tidak berani mengucapkan
"Asssalamu'alaikum" ketika berada di lingkungan militer.
Benny
pernah melontarkan pernyataan kontroversial yang melarang umat Islam
mengucapkan salam. Dalam sebuah rapat kabinet bidang Polkam, Jaksa Agung
Ali Said pernah dibentak oleh Benny karena mengucapkan "salam" dalam
rapat tersebut. "Indonesia bukan negara Islam, tak perlu ucapkan salam,"
bentaknya saat itu.
Peristiwa pembajakan pesawat yang
disebut-sebut sebagai bagian dari operasi kelompok jihad, juga
digagalkan atas peran Moerdani. Ia terlibat dalam aksi pembebasan para
sandera dan penangkapan orang-orang yang dianggap sebagai "teroris" atau
"ekstrem kanan" ketika itu.
Pasca Peristiwa 15 Januari 1974
(Malari) yang diduga kuat melibatkan operasi intelijen Ali Moertopo,
Presiden Soeharto memanggil Moerdani yang ketika itu sedang bertugas
sebagai konsulat di KBRI Korea Selatan untuk datang menghadap.
Belakangan diketahui, pemanggilan Moerdani ke Jakarta oleh Presiden
Soeharto adalah hasil lobi-lobi Ali Moertopo untuk menempatkan kader
pentingnya di lingkaran presiden.
Dengan diantar oleh Moertopo,
Moerdani kemudian bertemu Pak Harto. Setelah pertemuan, Moerdani
kemudian diangkat oleh Soeharto sebagai Ketua G-1 Intelijen Hankam yang
bertugas mengendalikan seluruh intelijen di Angkatan Darat dan
kepolisian. Selain itu Moerdani juga diperbantukan untuk BAKIN. Karir
militer Benny Moerdani terus melesat, meskipun ketika itu umat Islam
mulai mencurigai sepak terjangnya yang sangat antipati terhadap aspirasi
Islam.
Benny Moerdani dilibatkan dalam menangani intelijen
Kopkambtib dan diangkat menjadi Ketua Satuan Tugas Intelijen, sebuah
lembaga yang dikenal sangat angker dan ditakuti pada masa Orde Baru.
Para
ulama, khatib, mubaligh dan aktivis Islam pernah merasakan bagaimana
bengisnya lembaga ini dalam memosisikan Islam sebagai ancaman dan lawan.
Moerdani bahkan diduga berada di balik perpecahan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), sehingga terbentuklah dua HMI: HMI Dipo dan HMI MPO.
Tahun
1983, ketika Benny Moerdani diangkat sebagai Panglima ABRI menggantikan
Jenderal M. Yusuf, umat Islam makin khawatir dengan sepak terjangnya.
Moerdani kemudian melakukan berbagai upaya restrukturisasi secara
drastis, dengan menempatkan tentara-tentara yang Nasrani dalam jajaran
penting di militer. Benny Moerdani juga dicurigai dalam menjegal karir
para perwira ABRI Muslim. Tak heran, jika ada yang menyebut telah
terjadi kristenisasi di tubuh ABRI di bawah kepemimpinan Benny Moerdani.
Dalam persepsi Benny Moerdani, semua gerakan Islam adalah ancaman,
sebagaimana DI/TII pada masa lalu yang kemudian ditumpas.
Benny
Moerdani yang pernah terlibat dalam operasi menumpas DI/TII dan
PRRI/Permesta tidak bisa membuang persepsi negatif terhadap gerakan
Islam, sehingga menjadikan Islam sebagai ancaman yang membahayakan
keutuhan NKRI. Berbeda dengan Ali Moertopo yang kerap pamer kekuasaan,
Benny justru dikenal sebagai sosok yang misterius dan penuh rahasia.
Meski sama-sama haus kekuasaan, Bennyi bermain "cantik" untuk
menjalankan obesesinya tersebut. Sebagai orang yang malang melintang di
dunia intelijen, segala tindakan ia perhitungkan dengan matang dan
sangat tertutup. Bahkan ihwal tentara yang sering kali di latih di
Israel pun, pada masa Benny Moerdani tidak terungkap, tertutup rapat.
Di
kalangan tentara Muslim, isu tentang militer yang dilatih di Israel
pada masa Benny Moerdani sudah santer terdengar. Benny menyadari
posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas di Indonesia. Itu
membuanya sulit untuk menggapai puncak kekuasaan di republik ini. Karena
itu, dengan kelihaiannya ia berperan sebagai king maker, orang yang
mempengaruhi pihak yang berkuasa. Kepada perwira kopassus di akhir tahun
1980-an Benny pernah berseloroh, "Buat apa jadi orang yang berkuasa,
jika bisa dengan tanpa risiko kita mengontrol orang yang berkuasa."
Karena
itu, Benny membuat strategi agar orang yang berkuasa nanti, meskipun
berasal dari kalangan Islam, namun bisa dengan leluasa ia atur. Itulah
yang menyebabkan ia menjegal habis-habisan langkah Soedharmono untuk
menjadi wakil presiden, karena Sudharmono bukan sosok yang bisa ia atur,
di samping, menurutnya, Soedharmono dekat dengan kalangan santri. Benny
kemudian menjadikan Naro sebagai calon wakil presiden yang ia gadang.
Benny
juga dikenal lihai dalam mendekati kelompok Islam yang pernah memendam
kekecewaan dengan Masyumi. Ia melakukan politik belah bambu dengan
mendekati kiai dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU), dan menginjak
kelompok lain yang berseberangan dengan NU.
Pertentangan antara
NU sebagai kelompok tradisionalis Islam dengan kelompok Masyumi sebagai
santri modernis ia pertajam. Karenanya, Benny kerap bersafari dari
pesantren ke pesantren NU dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk
melakukan politik pecah belah tersebut. Safari bersama dilakukan Benny
dan Gus Dur di tengah kecaman umat Islam yang menuntut Benny bertanggung
jawab dalam tragedy pembantaian umat Islam Tanjung Priok, di Jakarta
pada 12 September 1984. Saat peristiwa Priok, Benny sedang berada di
Jakarta. Bahkan pada tengah malam usai tragedi pembantantaian, Benny
sudah berada di lokasi kejadian.
Pada dini harinya ia langsung
meluncur ke rumah sakit dan sempat menghitung jumlah mayat yang
tergeletak di rumah sakit. Anehnya, sampai akhir hayatnya, Benny
Moerdani sama sekali tidak tersentuh hukum dalam tragedi berdarah ini.
Benny & Try Sutrisno pasca Peristiwa Priok
Leonardus
Benny Moerdani meninggal di Jakarta, pada 29 Agustus 2004 dalam usia 72
tahun, karena menderita stroke. Kepergiannya mendapatkan penghormatan
yang luar biasa di kalangan militer. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta. Bendera setengah tiang selama tujuh hari
dikibarkan di lingkungan militer. Setelah Moerdani tiada, siapakah sosok
intelijen anti Islam yang menggantikannya?
dicopy dari blog : Solusi News - Blogspot
[http://solusinews.blogspot.com/2013/03/sosok-intelijen-anti-islam.html]