Republika Online - Kamis, 21 Juni 2012
“Sebenarnya apa sih landasan pendidikan moral di Jepang?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja saat zemi1) setahun yang lalu.
Hening sejenak. Tampaknya saya melontarkan pertanyaan yang cukup sulit untuk orang Jepang.
Akhirnya senior saya menanggapi. Landasan moral di sekolah-sekolah jepang diambil dari intisari berbagai macam agama dan etika yang ada di dunia ini.
Hening sejenak. Tampaknya saya melontarkan pertanyaan yang cukup sulit untuk orang Jepang.
Akhirnya senior saya menanggapi. Landasan moral di sekolah-sekolah jepang diambil dari intisari berbagai macam agama dan etika yang ada di dunia ini.
Saya sempat dua kali melakukan observasi pelajaran moral di dua sekolah yang berbeda. Di Jepang, selain khusus ada jam pelajaran tentang moral (doutoku), pesan-pesan moral juga terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran di Jepang.
Dua tema yang sempat saya saksikan di kelas satu sekolah jepang adalah, pelajaran tentang berbohong, dan giliran piket bersih-bersih di kelas. Dalam dua sesi yang berbeda itu, pendekatan yang dilakukan oleh guru jepang relatif mirip. Tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur atau menjalani tugas piket. Namun, dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong atau ketika mereka tidak menjalani tugas piket.
Diskusi interaktif itu menggiring anak-anak untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang akan diajarkan (proses kognitif-sikou ryoku). Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini.
Untuk mengecek pemahaman anak-anak tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu (proses menilai-handan ryoku). Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, dan diajak untuk berdiskusi isi dari film itu.
Malam itu di kuliah integrated learning, kami belajar pemikiran John Dewey tentang moral. John Dewey merupakan salah satu tokoh yang membawa pengaruh besar di bidang pendidikan di Amerika serta negara-negara Eropa. Dewey juga merupakan tokoh kunci yang menelorkan gagasan tentang pentingnya dibuat hubungan yang erat, antara pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan kehidupan di masyarakat.
Konsep-konsep pemikiran Dewey banyak dipakai di "seikatsu-ka (living environmental study)" dan "sougou gakusyuu (integrated learning)" di Jepang. Dua hal yang menjadi inti pendidikan ala Dewey adalah pendidikan yang berfokus pada minat anak-anak dan pentingnya belajar melalui pengalaman langsung.
Dalam kuliah itu, yang menjadi ajang diskusi para mahasiswa, bukannya konsep moral menurut Dewey, namun lebih kepada kebingungan para mahasiswa jepang tentang definisi moral. Di Jepang sendiri, meskipun ada pelajaran moral (doutoku) dan ada kurikulumnya secara spesifik apa yang harus diajarkan, namun apa definisi moral, baik-buruk, benar-salah, sama sekali tidak ada batasannya. Penekanannya lebih kepada nilai-nilai yang dianggap baik secara universal, seperti nilai-nilai kejujuran, kerja keras, menghormati hak orang lain, disiplin, rasa malu ketika tidak memenuhi kewajiban, dan sebagainya.
Hubungan antara moral dengan agama juga sempat dibahas, tapi untuk hal ini menimbulkan pro dan kontra. Guru-guru di Jepang memang sangat berhati-hati dalam hal ini. Karena urusan agama adalah urusan individu, jadi tidak berhak diajarkan oleh guru-guru di sekolah. Di Jepang sendiri, dengan kualitas guru-guru yang sangat baik, pendidikan moral yang didukung dengan sistem pendidikan, serta undang-undang yang fokus pada pembentukan karakter di sekolah dasar dan menengah, bisa sukses menanamkan nilai-nilai yang diajarkan tadi.
Namun, saya merasakan kerapuhan fondasi yang mendasari pelaksanaan moral di Jepang. Dengan melihat kebingungan anak-anak muda Jepang ketika membahas tentang moral, saya menjadi sadar. Meskipun sejak kecil mereka dibiasakan untuk melakukan disiplin, kerja keras, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya, namun untuk apa mereka melakukan itu? Sejauh mana suatu perbuatan dikategorikan baik? Serta tujuan-tujuan yang lebih dalam ketika melakukan suatu kebaikan, masih menjadi tanda tanya besar dalam kepala mereka.
Kalau dalam Islam, maka pertanyaan-pertanyaan itu sangat mudah untuk dijawab. Tinggal mempelajari Alquran saja, kita bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ada konsekuensi yang jelas ketika kita melakukan kebaikan ataupun keburukan.
Dalam masyarakat liberal, nilai-nilai kebaikan dan keburukan akan sangat mudah sekali bergeser. Tergantung pihak mana yang kuat, dan siapa yang bisa membangun opini di masyarakat.
Karena itu, nilai-nilai yang dulu dianggap buruk, seperti seks bebas, bisa saja bergeser karena pengaruh media yang mencitrakan keindahan dalam pergaulan bebas. Padahal, akibat seks bebas yang berujung pada kerusakan nasab anak, penyakit-penyakit kelamin, dan kerusakan sistem sosial di masyarakat tidaklah hilang hanya dengan penggambaran yang indah itu saja.
Saya sendiri tidak menilai bahwa pendidikan moral di Indonesia lebih baik dari Jepang. Indonesia memiliki konsep tentang moral yang kaya. Setiap pemeluk agama bebas untuk mengajarkan konsep moral kepada pemeluknya. Namun, kekurangannya ada dalam teknik mengajarkan moral kepada anak-anak. Bagaimana agar pendidikan moral tidak hanya masuk ke tataran kognitif saja, tapi sampai menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi karakter yang melekat kuat dalam diri anak. PR besar dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Hifizah Nur
Mahasiswa program master di Aichi University of Education
1) Zemi : sebutan untuk seminar, kegiatan berkumpul bersama teman-teman satu lab, untuk melaporkan kemajuan penelitian masing-masing.
sumber : republika.co.id