Kamis, 01 Mei 2008

Melayani Ekspresi

Ada orang seni yang merasa tidak cukup memiliki kebebasan berekspresi. Entah ekspresi macam apa yang ingin mereka ekspresikan sehingga kebutuhan sensor film saja harus dihilangkan. Atau mereka ketakutan ekspersinya tidak direstui, padahal terlanjur kulakan seni sebegitu mahal - penuh energi eeee tidak bisa sampai ke pasar.

Gara-garanya ia hidup tidak sendirian tetapi hidup bersama dengan orang lain, dan dalam wadah sebuah negri. Negeri itu memiliki semboyan bhineka tunggal ika. Memang seni tersendiri lho, bisa mememelihara terwujudnya semboyan itu. Sebuah ekspresi yang menuntut kemampuan yang tinggi. Soalnya tantangannya muncul pada saat bhineka menjadi liar sehingga ika-nya menjadi terancam hancur.

Yaa karena kita harus bergaul, maka komunikasi, etika dan seterusnya perlu dihormati. Oleh sebab itulah kebebasan mutlak itu tidak ada. Kebasan dalam lingkup tertentu. Bisa saja dalam lingkup yang suempiiiit............. bisa juga agak sempiittttttt............. atau malah sempiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit sekali. Lha kalau ekspresi seni yang bikin Tuhan dititpkan ke iyem sang kembang desa itu .... ya ekspresi sensualitas kewanitaannya ya hanya cukup untuk sang suaminya saja yang bisa menikmati. Kalau lebih dari itu, namanya tidak memelihara kehormatan. Lha mosok para artis itu malah menjual sensualitasnya ke publik.

Makanya Sang Jendral 'Naga Bonar' tidak setuju penghilangan badan sensor film. Karena tujuan kebebasan ekspresi semacam itu biasanya lebih bermuara untuk meloloskan seks dan sadisme belaka.