Rabu, 01 Oktober 2025

Prabowo di Munas PKS



Di negeri ini, masalah bangsa bisa ditunda, tapi luka pribadi tak pernah selesai. Nilai sebelas yang dulu diucapkan di panggung debat Pilpres 2024, kini dibawa lagi ke forum Munas PKS. Seolah negara hanya soal rapor rendah dan perasaan yang belum tuntas.


Politik Baper di Balik Angka Sebelas

1 Oktober 2025 

Ada momen getir yang justru memancing senyum miris ketika seorang presiden berdiri di podium dan berkata, “Saya enggak dendam sama Anies. Kalau dikasih nilai 11, saya enggak papa tuh.” Kalimat itu terdengar ringan, seperti guyonan di warung kopi. Tetapi justru di situlah publik menangkap jejak luka: ada sisa perasaan yang diselubungi tawa.

Sebab kalau benar tidak dendam, untuk apa terus diungkit? Nilai 11 dari 100 yang pernah dilontarkan Anies Baswedan di panggung debat Pilpres 2024 hanyalah bagian dari adu gagasan, bukan palu vonis. Kritik itu mestinya dibiarkan melebur bersama ingar-bingar kampanye yang telah usai. Tetapi ketika kembali dibawa ke ruang publik di tahun 2025, ia berubah menjadi cermin retak: menyingkap ego yang enggan berdamai dengan bayang-bayang rendah.

 Yang lebih sarat makna adalah kesempatan dan tempat ia mengucapkannya: kala penutupan Munas VI PKS. Dalam forum resmi partai itu, Prabowo menyampaikan kata-kata tersebut di hadapan kader dan petinggi PKS, di Hotel Sultan, Jakarta. Sepertinya Prabowo paham betul, bahwa PKS punya kecenderungan—meski belum pasti—untuk melirik Anies di Pilpres 2029. Maka ucapannya bukan sekadar candaan belaka. Itu isyarat politik, sindiran halus yang dibalut senyum. Seolah ingin berkata: “Aku tak dendam, tapi aku tak lupa.”

Namun ironi paling besar justru hadir ketika Prabowo menambahkan, “Aku enggak dendam sama Anies. Dia yang bantu aku menang.” Kalimat itu terdengar heroik, tetapi publik tahu kebenarannya jauh lebih getir. Yang membuatnya menang bukanlah nilai sebelas dari Anies, melainkan Gibran Rakabuming Raka—anak sulung Presiden Joko Widodo—yang ia boyong sebagai cawapres. Dengan menggandeng Gibran, otomatis sang ayah turun tangan. Mesin kekuasaan ikut bekerja, dan jalan menuju Istana pun terbuka.

Rakyat tidak sebodoh yang dibayangkan. Mereka paham betul, kemenangan 2024 bukan hadiah dari guyonan debat, melainkan buah dari kompromi politik yang disemen oleh darah dinasti. Film dokumenter Dirty Vote menjelaskan itu secara gamblang bagaimana pola-pola kekuasaan itu disusun rapi untuk memastikan kemenangan pasangan Prabowo–Gibran.

Maka kalimat “Anies yang bantu aku menang” terdengar lebih sebagai satire diri, upaya menutupi kenyataan dengan cerita manis.

Beginilah wajah politik kita: seringkali lebih sibuk mengurus perasaan ketimbang mengurus bangsa. Politik baper menjelma strategi. Luka pribadi ditampilkan sebagai tontonan. Kritik lawan, yang seharusnya dijawab dengan kerja nyata, justru dijadikan bahan guyon getir. Padahal rakyat sedang menunggu kabar tentang sembako murah, lapangan kerja, dan arah negeri.

Tapi apa yang mereka dapat? Cerita remeh tentang angka sebelas. Politik baper semacam ini mereduksi demokrasi menjadi drama sentimentil. Ia menjauhkan pemimpin dari kebesaran jiwa, sebab terlalu sibuk menambal harga diri yang robek.

Padahal, seorang pemimpin yang matang mestinya bisa menertawakan dirinya sendiri tanpa menyelipkan sindiran. Ia tak merasa rendah meski dikritik. Ia tak perlu mengulang luka, karena yang lebih penting adalah menjahit harapan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ego terlalu rapuh untuk menerima kritik, sehingga tawa berubah menjadi tirai yang menutupi perasaan sesungguhnya. Publik paham itu. Mereka tahu di balik senyum ada getir yang tak bisa disembunyikan.

Inilah tragedi kecil politik kita: demokrasi tak bergerak pada gagasan besar, melainkan terhenti di simpang kecil bernama “nilai sebelas”. Sementara rakyat menanggung beban hidup yang jauh lebih berat daripada sekadar angka di rapor politik seorang pejabat.

Akhirnya, bangsa ini dipaksa menonton sandiwara: dendam yang disamarkan dengan tawa, luka yang disulap jadi humor. Sebuah panggung di mana ego lebih berisik daripada nasib rakyat. **


Ady Amar, Kolumnis

 

copy dari KBA News 

 


Selasa, 02 September 2025

Yang Ahli Yang Melakukan, Meski itu Kerusuhan

 

Ahli Rusuh

02 September 2025

Oleh: 
Made Supriatma, 
Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore


Presiden Prabowo hari ini mengunjungi polisi-polisi yang terluka ketika menghadapi demonstrasi. Harus diakui bahwa korban luka, bahkan korban jiwa, juga menimpa aparat keamanan. Mereka bertugas menghadapi para pengunjuk rasa. Tidak jarang ada bentrokan diantara keduanya.

Berkebalikan dengan itu, presiden tidak mengunjungi korban-korban sipil. Hingga saat ini sudah tujuh orang meninggal akibat kekerasan massal ini. Presiden menengok mereka yang menyangga kekuasaannya.

Saya kira periode ‘crackdown’ atau tindakan keras sudah mulai. Setelah lumpuh karena diserang massa dan banyak kantornya dibakar massa, polisi mulai menyusun kekuatan lagi. Kali ini, militer pun turun. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan-kendaraan militer — dari alat angkut hingga tank. Ini untuk menimbulkan kesan seram dan menakutkan sehingga massa yang beringas bisa tunduk.

Dua jam yang lalu saat saya menulis, aparat keamanan mulai masuk ke kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat demonstrasi. Di Bandung, Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung menjadi sasaran.

Selain itu, polisi juga menyasar individu-individu yang dianggap menjadi tokoh gerakan. Delpedro Marhaen Direktur Lokataru, sebuah lembaga advokasi hukum, dijemput paksa Polda Metro Jaya. Ratusan orang masih ditahan. Sebagian besar mahasiswa.

Para elit juga sudah mulai membingkai gerakan ini sebagai gerakan yang didanai asing. Presiden Prabowo menginsinuasi bahwa gerakan sosial rakyat ini sudah mengarah ke makar dan terorisme.

Sudah tampak bahwa para elit bersatu untuk menghadapi arus gerakan massa dengan tuntutan yang jika dipenuhi akan mengontrol kekuasaan para penguasa ini. Setidaknya, untuk saat ini mereka memperlihatkan persatuan setelah sebelumnya bermanuver di balik layar.

Seakan paduan suara, para elit dan pendukung serta pendengungnya berusaha untuk menggambarkan massa yang rusuh. Padahal dalam kenyataannya, saya kira, ada garis tegas antara demonstrasi (unjuk rasa) dan kerusuhan (riots).

Demonstrasi bisa keras — di mana aparat berhadapan dengan massa yang berunjuk rasa. Aparat biasanya menggunakan mekanisme ‘crowd control’ untuk memecah massa. Mereka yang belajar gerakan sosial pasti mengerti bahwa aparat keamanan memiliki strategi dan taktik untuk menjinakkan massa — mulai dari perundingan hingga ke pembubaran paksa.

Kadang pada fase terakhir ini ada kekerasan. Di kalangan demonstran pun ada yang lebih suka bagian-bagian akhir ini. Pada banyak demo kita lihat remaja-remaja sengaja datang saat-saat akhir dan menunggu bentrok dengan polisi. Biasanya selesai di sini.

Minggu lalu, demonstrasi berujung sangat berbeda. Ia berubah menjadi kerusuhan. Kantor-kantor polisi dan DPRD dibakar. Hari berikutnya, massa menyerbu dan menjarah rumah-rumah pribadi. Sasarannya pun sudah ditentukan: para artis anggota DPR. Juga rumah pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kejadian ini membuat saya membuka-buka kembali buku lama saya tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di berbagai negara, khususnya di negara-negara Asia Selatan.

Sekali lagi, kita harus membedakan demonstrasi dan kerusuhan. Selain itu juga penjarahan. Demonstrasi hampir pasti tidak akan berujung ada penjarahan. Namun kerusuhan hampir pasti diikuti oleh penjarahan.

Dari berbagai kasus kerusuhan selalu ada pola, yakni itu tidak dilakukan oleh orang-orang biasa. Aktor utama kerusuhan adalah apa yang dinamakan oleh para ahli sebagai ‘riot specialists’ atau kita sebut saja ‘ahli rusuh.’

Mereka tahu persis bagaimana membuat kerusuhan dengan memanfaatkan suasana kerumunan. Mereka ahli memprovokasi, membakar emosi, membakar gedung, mendorong penjarahan, dan tahu kapan harus berhenti dan pergi.

Walaupu tampak remeh, membakar sebuah gedung itu membutuhkan keahlian tersendiri. Melempar batu untuk memancing emosi massa juga membutuhkan keahlian untuk menentukan waktu yang tepat. Dengan kata lain, para ahli sepakat bahwa tidak ada kerusuhan yang spontan. Anda baca saja buku-buku dari Stanley Tambiah, Paul Brass, Charles Tilly, Sidney Tarrow, atau para ahli yang mengamati konflik-kondlik komunal di Indonesia.

Apakah ketrampilan ini dimiliki oleh mahasiswa dan para aktivis pro-demokrasi yang sekarang turun ke jalan? Jelas tidak. Yang saya tahu, ketrampilan-ketrampilan macam ini dimiliki oleh kalangan intel — baik yang masih di struktur resmi maupun yang pernah bekerja untuk intelijen.

Jadi, jika sekarang tindakan keras (crackdown) itu diterapkan kepada mahasiswa dan para aktivis, apakah itu adil? Penguasa jelas tidak mau memeriksa aparatnya sendiri. Itu sikap terang benderang dari Presiden Prabowo. Ia bahkan menunjukkan pembelaannya kepada aparat yang jelas-jelas bertindak sangat brutal dan menggunakan kekerasan yang amat berlebihan.

Pertanyaan lain: Apakah mahasiswa punya kemampuan untuk membakar markas-markas polisi dan bahkan markas komando Brimob? Sulit diterima akal sehat. Menyerang markas Brimob sama seperti menyerang markas Kopassus.

Periode tindakan keras atau crackdown yang sekarang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran hampir pasti akan diikuti oleh pencarian kambing hitam. Harus ada yang disalahkan. Harus ada yang “bertanggungjawab.”

Para elit dan para gedibalnya sudah punya jawaban: pihak asing — Soros, CIA, USAID, dan lain sebagainya. Jawaban yang gampang yang tidak meminta proses berpikir. Kalau ditanya lebih jauh, jawabannya selalu, “Adalah. nanti saya kasih tahu!”

Pengalaman di Indonesia, jika terjadi kerusuhan dan kekacauan seperti ini hampir pasti yang melakukan adalah para elit sendiri. Mereka sedang berebut sesuatu. Semua episode sejarah konflik di Indonesia selalu melibatkan institusi yang memegang senjata yaitu militer.

Kerusuhan Malari 1974 adalah karena faksionalisme militer. Demikian juga 1998 — tragedi menyakitkan yang pelaku-pelakunya masih hidup dan bahkan sekarang berkuasa kembali. Coba Anda cek siapa saja yang pada 1998 sekarang berkuasa. Apakah bukan kebetulan kalau kerusuhan dengan pola yang sama muncul kembali?

Alih-alih menuduh masyarakat sipil, pemerintah dan para elit seharusnya melihat ke dalam diri mereka sendiri. Jangan biarkan akal sehat rakyat membusuk karena menerima rekayasa tuduhan yang macam-macam. Atau, jika membuat tuduhan buatlah yang masuk akal.

Rakyat biasa membakar kantor polisi dan menyerbu markas Brimob? Gimana bisa, wong naik motor di depannya saja kami deg-degan! (*)

copy dari : Poros Timur

Senin, 28 Juli 2025


 

Kira-kira setelah menit ke 48, pembuat kebijakan itu tentunya termasuk istana DPR.

Tadi saya katakan segala masukan pandangan konstruktif itikat baik kita terhadap ee terjaganya marwah otoritas Lembaga Penegakan Hukum. Itu rusaknya oleh istana.
Istana yang saya maksud adalah pembuat kebijakan yang tidak bisa menahan syahwat mereka untuk menarik-narik otoritas penegakan hukum ke dalam ranah politik (yaitu) membangun mindset bukan sebagai profesional penegak hukum, tapi sebagai (kekuatan) politik.

Selengkapnya buka YouTube

Tercepat Belajar Koi hingga Juara Dunia

Pengusaha Ikan Koi yang Bantu Petani di Kancah Internasional

Jumat, 18 Juli 2025 

Sore itu di kawasan Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat, seorang pria paruh baya dengan kemeja putih dan celana pendek, terlihat menggenggam pakan ikan dengan kedua tangannya.

Pria itu pun menyusuri bibir kolam berbentuk huruf 'L' yang terdiri dari batuan kali yang sudah mulai menghijau karena lumut. Pakan dalam genggamannya pun ia lemparkan ke arah ikan-ikan sudah menanti sedari lama.

Pria itu adalah Hartono Soekwanto, seorang yang sudah tidak asing lagi di telinga para petani mau penghobi Ikan Koi di Indonesia, bahkan dunia.

Setelah, menyapa dan memberi makanan ikan yang berada di pelataran rumahnya, Hartono Soekwanto pun meresonansi ingatannya tentang awal mula ia menggandrungi Ikan Koi.

Hartono Soekwanto pun menceritakan sepenggal kisah perjalanannya menjadi Juara Dunia pada 2011. Dua tahun berselang, Hartono Soekwanto berhasil berhasil menjadi Grand Champion Nishikigoi Off the World 2013 di Jepang dengan Ikan Koi jenis Kohaku bernama Mu-Lan Legend.

Awal mula Hartono Soekwanto menyukai Ikan Koi ini pada 2008. Saat itu, ia membeli sebuah rumah di kawasan Setrasari, Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat.

Rumah yang ia beli ternyata memiliki sebuah kolam yang tidak terpakai. Hartono Soekwanto pun memutuskan untuk memelihara Ikan Koi yang ia beli seharga Rp150 ribu dari pasar.

"2008 itu saya beli rumah. Rumah itu ada kolam kosong, terus saya oprek-oprek. Saya beli ikan yang Rp150.000-an di pasar," kata Hartono Soekwanto melalui keterangan, Jumat 18 Juli 2025.

Namun, rekan-rekan Hartono Soekwanto ternyata tidak memberikan dukungan kepadanya, justru berbalik menghina karena Ikan Koi yang menghuni kolam bagus itu tidak berkualitas lantaran berasal dari pasar.

"Terus datang temen tapi malah ngehina. Ini kolam bagus pakai cor segala macam, tapi isinya Koi lokal," ucapnya.

Ternyata hinaan dari bibir rekan hingga menembus daun telinga itu menjadi motivasi tersendiri bagi pria 53 tahun ini. Hartono Soekwanto pun memutuskan untuk pergi ke tempat asal Ikan Koi, Jepang.

Perjalanan Hartono Soekwanto di Negeri Sakura terbilang cukup singkat untuk mempelajari Ikan Koi hingga menorehkan prestasi dunia. Ia hanya membutuhkan waktu dua tahun delapan bulan hingga akhirnya menjadi juara dunia.

"Setelah ikut kontes di sini, dengan Ikan Koi harga Rp50 juta, saya ke Jepang, belajar selama 2 tahun 8 bulan, hingga jadi juara dunia. Saya orang tercepat di dunia, dari belajar nama Koi dan juara dunia," kata Hartono sembari melempar senyuman tipis.

Tantangan Penghobi Ikan Koi di Indonesia
Hartono Soekwanto menambahkan, bagi para pemula yang ingin mengembangbiakkan atau hanya sekadar hobi Ikan Koi, kuncinya hanya menikmati dan bahagia.

Musababnya, mengembangbiakkan atau hobi Ikan Koi ini memang tidak mudah. Apalagi, Ikan Koi cenderung hewan yang cepat mengalami perubahan perilaku, kadang muram karena temperatur air maupun faktor lingkungan.

"Memang enggak gampang lah pelihara Koi ini, kan tiap hari berubah. Dia nyaman di suhu air 24 sampai 28 derajat. Kalau malam mungkin 22 sampai 24 derajat, dia nyaman. Kedinginan enggak nyaman, kepanasan apalagi. Tapi Bandung kan sudah dapat semua suhunya. Tidak harus pakai chiller (pendingin)," ujarnya.

Jadi bagi para pemula yang ingin mengembangbiakkan atau hanya memelihara Ikan Koi, jangan mudah menyerah. Hartono Soekwanto menyarankan agar tidak mengikuti metode perawatan Ikan Koi di Jepang, karena Indonesia memiliki caranya tersendiri.

"Jangan menyerah, terus lanjutkan, terus improvisasi, lakukan cara Indonesia, Indonesia way. Jangan ngikutin Jepang, yang penting hasilnya yang sama. Saya yakin bisa, karena potensi kita luar biasa," tuturnya.

Apabila perjalanan yang sukar sudah bisa terlewati, Hartono Soekwanto yakin petani maupun penghobi Ikan Koi di Indonesia tidak mudah tergoyahkan dengan suara sumbang.

Mengingat, Ikan Koi yang sudah menyandang titel juara pun bisa melepaskan predikat makhluk hidup yang tidak sempurna.

"Ikan Koi atau makhluk hidup itu enggak ada yang sempurna. Koi juara dunia tidak sempurna. Cuman juara dunia itu adalah Ikan Koi yang terbaik waktu itu. Yang penting menikmati, kita happy, ikannya happy, ya sudah," kata Hartono sembari merapikan rambutnya.

Bantu Petani Ikan Koi untuk Melambungkan Indonesia di Kancah Internasional

Meski sudah merasakan kejuaraan tertinggi, nyatanya Hartono Soekwanto tidak mengenal kata lelah untuk membantu para petani Ikan Koi di Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, Hartono Soekwanto memilih menjadi orang di belakang layar di dunia Ikan Koi Indonesia.

Ia rajin memberikan benih Ikan Koi untuk para petani mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Alasannya pun cukup sederhana, Hartono Soekwanto ingin para petani Ikan Koi di Indonesia mempunya bibit dengan garis keturunan yang unggul agar dunia menghargai.

"Saya enggak pernah menjual, ngasih indukan saja ke ratusan petani binaan. Supaya teman-teman ini punya bibit, bloodline yang bagus. Ada kepuasan tersendiri memang, tapi dasarnya supaya Indonesia dihargai di dunia," katanya.

Dengan upaya itu, Hartono Soekwanto berhasil menaikkan kelas petani Ikan Koi di Indonesia. Hal itu terpotret dari sejumlah kejuaraan Ikan Koi di Indonesia, Jepang tidak berhasil jadi kampiun.

"Lima tahun terakhir ini yang dari Jepang tidak pernah bisa menang di Indonesia. Perlombaan di Jakarta tahun ini, petani dari Kediri bisa menang. Jadi sudah bagus, sudah hebat, petani kita sudah enggak bingung," kata Hartono.

Keberhasilan para petani Ikan Koi di Indonesia tidak hanya tergambar perlombaannya selama lima tahun terakhir di tanah air.

Saat ini, mereka sudah bisa mengembangbiakkan Ikan Koi dengan ukuran satu meter. Perkembangan itu cukup pesat, karena dulu hanya mampu mengembangbiakkan Ikan Koi ukuran 55 centimeter tanpa melihat kualitas.

"Sekarang waktunya untuk membantu petani untuk mengejar ukuran yang lebih panjang lagi. Makanya kita lakukan dengan mem-breeding (mengembangbiakkan) yang semeteran," tuturnya.

dicopy dari : Ayo Bandung

 

Cek beritaa selengkapnya PRFM News