Sabtu, 11 Januari 2025

Benarkah Aguan Group ingin Cuci Tangan ?

Terbongkar, Orang Aguan yang Jadi Dalang Pemagaran Laut PIK 2

Jumat, 10 Januari 2025

Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR) Ahmad Khozinudin membongkar dalang pemagaran laut untuk proyek PIK 2 sepanjang 30 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten.

"Untuk diketahui, yang mendapat proyek pemagaran laut namanya Memet, warga Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, atas perintah Gojali alias Engcun. Gojali alias Engcun ini adalah bagian dari geng mafia tanah, bekerja kepada Ali Hanafiah Lijaya, orang kepercayaan Aguan untuk kepentingan proyek PIK 2 milik Aguan dan Anthony Salim," kata Khozinudin kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (10/1/2025).

Khozinudin menyebutkan nama Gojali alias Engcun ini terkenal di kalangan korban perampasan tanah. "Gojali bersama Ali Hanafiah Lijaya, saat ini menghilang dari peredaran. Engcun kabarnya ngumpet di Subang, sedangkan Ali Hanafiah Lijaya tak diketahui ada di mana," ujarnya.

Ia menekankan, kalau pemerintah serius maka segera tangkap orang-orang tersebut. Jadi, jangan hanya menyegel dan mencabut pagar laut, tetapi minta pelaku yang mencabut sendiri dan diberi sanksi pidana.

"Jangan sampai, negara kalah melawan Aguan. Pagar laut itu ada sejak adanya proyek PIK-2. Pagar laut dibuat sebagai tindakan prakondisi untuk menguasai pantai dan laut, disterilkan dari aktivitas nelayan Banten. Selanjutnya, akan diokupasi sebagai wilayah PIK-2," kata Khozinudin menerangkan.

Fakta pemagaran laut ini, ujar Khozinudin, akan pihaknya jadikan bahan pembuktian gugatan perkara nomor 754/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst, terhadap Aguan dkk.

Menurut Khozinudin, bukti tentang adanya perbuatan melawan hukum berupa PSN PIK-2 telah melakukan kegiatan pembangunan kawasan area PIK-2 yang telah menutup sejumlah akses publik selain akses jalan, juga akses nelayan untuk melaut secara bebas, karena sejumlah proyek PIK-2 di kawasan pantai telah menghalangi rute nelayan untuk melaut pada jalur yang biasa dilewati.

Dia melanjutkan, secara paralel aparat penegak hukum wajib segera menangkap pelaku pemagaran laut karena telah melanggar kedaulatan negara dengan Pasal 106 KUHP tentang makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara di bawah kekuasaan asing. "Dijual ke asing atau China. Pelaku makar dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun," kata Khozinudin.

Khozinudin menuturkan ia menyampaikan informasi yang pihaknya terima tentang pagar laut ini untuk membantu pemerintah dan memudahkan aparat kepolisian menindak pelaku kejahatan terhadap kedaulatan negara.

"Boleh saja pemerintah mengaku belum atau tidak tahu. Walaupun pernyataan seperti ini terlihat janggal. Bagaimana mungkin, pejabat yang diberikan wewenang dan aparat, dukungan anggaran, sarana dan prasarana tak mengetahui pelanggaran kedaulatan wilayah laut dalam yurisdiksi teritorial Indonesia?" beber Khozinudin.

"Apalagi, pelanggaran kedaulatan negara itu terjadi dan dilakukan di bibir pantai. Bukan dilepas samudera nan jauh. Nelayan, juga sudah lama mengeluhkan hal ini," tambah dia menegaskan.

Sementara itu, Muannas Alaidid, selaku kuasa hukum pihak Agung Sedayu Group menegaskan tidak ada keterlibatan perusahaan dalam pemasangan pagar laut yang membentang sepanjang 30,10 kilometer di pesisir Tangerang, Banten.

Melalui surat hak jawab tertanggal 8 Januari 2025 yang diterima redaksi pada Kamis (9/1/2025) pukul 15.02 WIB, Muanas keberatan dengan dikaitkannya proyek strategis nasional (PSN) PIK 2 dan Agung Sedayu Group dalam pemberitaan Inilah.com berjudul "Aguan Diduga Makin Semena-mena Pagari Laut Tangerang hingga 30 Km, Setop PSN PIK 2!" yang tayang Rabu (8/1/2025) pagi.

Dia menilai pemberitaan ini telah mencemarkan nama baik perusahaan dan menimbulkan opini yang salah di tengah masyarakat. Muannas turut menyinggung pernyataan Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Suharyanto serta Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti yang menyebutkan belum ada pihak yang mengajukan izin pemagaran laut, sebagaimana tertera dalam badan berita. Dengan demikian, kata dia, tidak ada hubungannya antara PSN PIK 2 yang kliennya kembangkan dengan keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang, Banten.

"Tidak ada keterlibatan Agung Sedayu Group dalam pemasangan pagar laut. Kami menegaskan hingga saat ini tidak ada bukti maupun fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan tindakan tersebut," ujarnya dalam surat hak jawab.

Muannas juga turut menjelaskan bahwa kawasan komersil PIK 2 dengan kawasaan PSN adalah dua kawasan yang berbeda. Menurutnya, Kawasan PIK 2 diperoleh melalui izin lokasi dari Pemda dan jual beli dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan dari pihak manapun.

"PIK 2 juga tidak dapat dilepaskan dari sejarahnya sejak tahun 2011, khususnya terkait pengembangan kawasan di utara Tangerang, ide kota baru sebagai pengembangan wilayah yang sesuai Perda Kabupaten Tangeran No.13 Tahun 2011, bahwa pengembangan kawasan baru di Pantai Utara Tangerang sebagai bentuk penganekaragaman kegiatan selain industri dan permukiman," tulis Muannas.

copy dari inilah com

 

Alasan Pagar Laut PIK 2 Dibikin Warga Swadaya tak Masuk Akal, Logika Maling Tertangkap Basah!

Minggu, 12 Januari 2025

Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR) Ahmad Khozinudin menegaskan, dalih pemagaran laut untuk proyek PIK 2 sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, yang diklaim dilakukan oleh warga secara swadaya untuk mencegah abrasi dan mitigasi tsunami, seperti alibi maling yang tertangkap basah.

Hal tersebut ditegaskan Khozinudin kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (12/1/2025), menanggapi klaim nelayan yang tergabung Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, bahwa pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut pantai utara (Pantura) di daerah itu dibangun sebagai mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Khozinudin menekankan, alasan pagar sepanjang 30,16 km dibuat oleh warga secara swadaya, tidak masuk akal karena beberapa sebab. Pertama, kata dia, biaya untuk membuat pagar laut sepanjang 30,16 km jelas mahal, yaitu mencapai puluhan miliar rupiah.

"Dana sebesar ini tidak mungkin dikumpulkan dari warga pesisir pantai yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan saja sulit, apalagi harus mengeluarkan uang miliaran untuk membuat pagar laut," ujarnya.

Kedua, lanjut Khozinudin, warga pesisir yang bekerja menjadi nelayan justru merasa terganggu oleh pagar laut karena menghalangi akses dan mobilitas nelayan untuk melaut menangkap ikan. "Tidak mungkin, nelayan membuat dan membiayai pagar yang menyusahkan aktivitas mencari ikan, atau menyusahkan penghidupan mereka sendiri," tegasnya.

Ketiga, kata dia, pagar dengan konstruksi bambu anyaman itu tidak mungkin mencegah abrasi. Apalagi posisinya menjorok ke laut. "Abrasi apa yang bisa dicegah dengan pagar konstruksi dari anyaman bambu? Apalagi, untuk tujuan pemecah ombak. Tidak nyambung!" jelas Khozinudin menekankan.

Kemudian keempat, sambung Khozinudin, nelayan paling takut dengan aparat. "Pagar laut ini dibuat tanpa Izin. Mana mungkin, nelayan warga setempat berani membuat pagar swadaya tanpa izin?" kata dia.

Selanjutnya kelima, tambah Khozinudin, di sekitar pagar itu ada pemerintahan dan aparat desa, sehingga tak mungkin mendiamkan dan tidak melaporkan pagar ini ke pemerintah pusat. "Tak mungkin, pagar ini lama menjadi misteri jika benar itu swadaya dari warga," tegas dia lagi.

Jadi, kata Khozinudin, semua alibi tentang pagar laut itu cuma logika maling tertangkap basah.

"Mau lempar tanggung jawab. Yang harusnya paling bertanggung jawab adalah Aguan dan kaki tangannya, yaitu Ali Hanafiah Lijaya, Engcung, dan Memed," ujar Khozinudin.

Pagar itu, menurut dia, dibuat sebagai prakondisi untuk mengokupasi laut dan bibir pantai untuk direklamasi dan dijadikan asas produksi industri properti. "Di atas pagar itu sudah ada sejumlah alas hak yang diterbitkan, yang kemudian akan direklamasi dengan dalih mengembalikan tanah darat yang terkena abrasi," ungkap Khozinudin.

Diklaim untuk Cegah Abrasi dan Mitigasi Tsunami
Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, Banten, mengklaim pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut Pantura di daerah itu dibangun sebagai mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Koordinator JRP, Sandi Martapraja di Tangerang, Sabtu (11/1/2025), mengatakan jika pagar laut yang kini ramai diperbincangkan di publik adalah tanggul yang dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya.

"Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," ujarnya.

Menurutnya, tanggul laut dengan struktur fisik yang memiliki fungsi cukup penting dalam menahan terjadinya potensi bencana seperti abrasi. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.

"Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami," kata Sandi.


copy dari : inilah com