Selasa, 30 Agustus 2016

Kisah Aa Gatot Brajamusti Mendadak Tenar karena Reza Artamevia

Senin, 29 Agustus 2016

Lama tak terdengar nama Gatot Brajamusti tiba-tiba ramai diperbincangkan. Bukan karena dirinya terpilih kembali menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), pria yang akrab disapa Aa Gatot itu justru tengah berurusan dengan kepolisian.

Aa Gatot ditangkap dalam kasus narkoba. Pria yang menjadi guru spiritual sejumlah artis ini ditangkap di sebuah Hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia diamankan terkait kepemilikan narkoba jenis sabu.

Penangkapan terhadap Gatot dilakukan di sebuah hotel. Dia tengah bersama wanita saat itu.

"Tersangka sering melakukan pesta sabu atau narkoba," terang Kabid Humas Mapolda Metro Jaya, Irjen Pol Boy Rafli Amar, dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (29/8).

Kemunculan nama Aa Gatot hari ini mengingatkan kita pada peristiwa Desember 2004 lalu. Saat itu, penyanyi seksi Reza Artamevia, mendadak hilang di Bandara Soekarno-Hatta sekembalinya dari Surabaya. Hilangnya Reza kala itu, bersamaan dengan kabar kisruh rumah tangganya dengan almarhum Adjie Massaid.

Reza pada tanggal 12 Desember 2004 lalu, tiba di Bandara Soekarno-Hatta bersama lima orang rekannya. Mereka mulanya sama-sama menunggu di ruangan bagasi. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Reza menghilang dari pandangan empat temannya. Menghilangnya Reza sangat misterius.

Pengacara Reza saat itu, Damayanti, menyebut sebelum peristiwa itu, kliennya memang beberapa kali menerima SMS misterius.

"He Reza, lu sampai berani mengancam Adjie lagi mati lu... liat aja, aku tidak pernah bekerja main-main dan aku sudah mengumpulkan semua jin saya untuk membuat lu cacat mental," isi SMS tersebut.

Dia menilai saat itu kondisi Reza sedang baik-baik saja. Sehingga dirasa tak mungkin jika Reza menghilang untuk menenangkan diri di suatu tempat.

Singkat cerita setelah malam itu Reza menghilang, akhirnya keluarga melapor ke polisi. Sepekan berlalu, Damayanti menyebut Reza telah ditemukan.

Ternyata Reza berada di sebuah padepokan di Sukabumi milik guru spiritualnya Gatot Brajamusti alias Aa Gatot. Disebut-sebut keberadaan Reza di sana untuk menenangkan diri, karena berbagai masalah yang mendera rumah tangga bersama Adjie Massaid.

Setelah peristiwa itu, nama Aa Gatot mendadak sangat melejit. Dia selalu tampil ke publik dengan dandanan khas bersorban.

Reza sempat berada di padepokan itu selama beberapa saat. Penyanyi dengan suara serak-serak biasa itu pun sempat kembali ke rumahnya namun pada akhirnya kembali ke padepokan itu. Padahal saat itu Reza telah memiliki putri.

Setelah peristiwa 2004 silam, disebut-sebut hubungan pelantun lagu 'Pertama' dengan Aa Gatot bukan sekadar murid dan guru spiritual. Kabarnya, keduanya memiliki hubungan khusus. Namun dengan tegas Reza membantah.

"Itu semua tidak benar, saya ingin buktikan juga kalau isu saya jarang tampil karena Aa Gatot itu nggak benar," ucap Reza Artamevia, kala itu.

Reza juga sempat mengenakan kerudung sekitar tahun 2015 lalu. Namun belakangan Reza tampil sudah tidak lagi mengenakan kerudung. Reza juga sempat menghilang dari dunia hiburan, pelan-pelan kini dia kembali tampil memperdengarkan suara syahdunya.


copy dari : merdeka.com

  • Aa Gatot  ditangkap lagi nyabu sesaat setelah Gatot terpilih lagi sebagai Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi). Ia terpilih untuk kedua kalinya setelah agenda sidang kongres digelar. Penangkapan oleh ditangkap tim gabungan Satgas Merah Putih (tempo, 29 Agustus 2016).
  • Hasil Tes Urine, Gatot Brajamusti dan Istrinya Aminah Positif Gunakan Narkoba (detik, 29 Agustus 2016).
  • Hasil Tes Urine Penyanyi Reza Artamevia Positif Narkoba (detik, 30 Agustus 2016).
update :
  • Reza mengaku dalam kasus penangkapan atas Gatot Brajamusti, dia sedang tidak beruntung di lokasi. "Siapa pun bisa mengalami hal seperti saya. Kalau lagi apes bisa saja seperti ini. Tolong jangan ada stigma-stigma," (viva.co.id, 1 September 2016).
  • Keluarga menunjuk Ramdan Alamsyah untuk mendampingi selama proses hukum berjalan di Polres Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)  (storibriti.com, 1 September 2016).
  • Menurut pengacaranya, Reza sebagai korban atas ketidaktahuannya,  kepolisian dan BNN-NTB sepakat merehabilitasi Reza Artamevia untuk mengatasi kecanduannya alias tidak ditahan (koreksi/update Tempo tgl 2 September 2016).
update :

Minggu, 21 Agustus 2016

Arah Riest bisa Berbeda, Berbeda juga Manfaatnya

http://1.bp.blogspot.com/-aD0W_oNj-sM/Tgu62F_jjZI/AAAAAAAABPc/9S5OmK5xbtE/s1600/sutimen2.jpg
"Pemikiran saya, terciptanya rokok keretek yang dibuat nenek moyang kita dulu bukan tanpa dasar. Rokok keretek dibuat untuk obat batuk" (Prof Sutiman Bambang Sumitro MS DSc)

Profesor Sutiman Bambang Sumitro, Penemu Filter Rokok Sehat


Jawapos - Rabu, 29 Juni 2011

Di tengah maraknya kontroversi soal bahaya merokok, kini muncul penemuan menarik tentang rokok sehat. Yakni, karya Prof Sutiman Bambang Sumitro MS DSc, guru besar Universitas Brawijaya (UB), Malang, yang berhasil menggemparkan dunia kesehatan. Seperti apa?

Di meja kerja Sutiman B. Sumitro yang berlokasi di laboratorium FMIPA jurusan biologi lantai II UB (Universitas Brawijaya), terlihat tiga bungkus filter rokok. Per bungkus berisi sekitar 30 filter rokok.

Filter-filter rokok itu dikemas dalam plastik transparan. Filter tersebut berdiameter sekitar 7 milimeter dengan panjang 2 sentimeter. Bungkusnya berukuran 7 x 9,5 sentimeter.

Plastik pembungkus tersebut tidak dibuat polos, tapi ada tulisan yang mudah dibaca walau berukuran kecil. Di tengah plastik pembungkus terdapat lingkaran berdiameter 3 sentimeter yang bertulisan Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas Malang. Di bawahnya ada tulisan Filter Rokok Sehat dengan ukuran huruf sedikit lebih besar.

Dengan begitu, tulisan tersebut mudah terbaca ketika pandangan singgah ke pembungkus filter itu. Paling bawah, tertera alamat Jl Surabaya No 5, Malang, lengkap dengan nomor telepon 0341-570631. Di bagian sudut kiri ada banderol Rp 10 ribu.

Begitulah gambaran penemuan Sutiman tentang filter rokok sehat yang mengangkat tema Inovasi Mereduksi Dampak Negatif Merokok dan Memperkuat Dampak Positif Merokok dalam Memperbaiki Kualitas Hidup.

Berdasar penelitian guru besar biologi sel dan molekuler UB itu, filter rokok tersebut disebut divine cigarette. Diamati sepintas, bentuknya mirip filter pada rokok. Warnanya juga sama, yakni putih. "Saya kadang memopulerkan penelitian saya dengan sebutan Nano Biologi Jawaban Keretek Sehat," ungkap Sutiman kepada Radar Malang (Group JPNN) kemarin.

Sebelum mengupas panjang lebar hasil penemuannya, pria kelahiran Jogjakarta, 11 Maret 1954, itu meminta waktu untuk menyampaikan secara singkat asal-muasal ketertarikannya meneliti rokok. "Saya memang bukan perokok. Seorang peneliti justru harus mengabaikan unsur subjektivitas dan mengedepankan objektivitas," ungkap alumnus S-1 Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Dasar penelitian Sutiman terkait dengan permasalahan bangsa yang dirasa menuntut penyelesaian dengan kearifan lokal. Salah satu yang disorot adalah masalah rokok. Banyak peneliti yang menyebutkan bahaya merokok. Di sisi lain, rokok sudah menjadi sebuah industri besar. Di dalamnya melibatkan banyak unsur, yakni ekonomi, ribuan tenaga kerja, serta dampak lain yang perlu pemikiran bersama ketika industri tersebut berhenti.

"Pemikiran saya, terciptanya rokok keretek yang dibuat nenek moyang kita dulu bukan tanpa dasar. Rokok keretek dibuat untuk obat batuk," ungkap pria yang mengambil program doktor di Nagoya University, Jepang, tersebut.

Sayangnya, fakta ilmiah itu tidak pernah diperhatikan pemerintah, terlebih oleh industri rokok keretek di Indonesia. Mereka tidak memiliki hasil riset dan pengembangan produk yang memadai.

Padahal, ditinjau dari aset serta volume perdagangan rokok di Indonesia, riset seputar rokok sesungguhnya gampang direalisasikan. Seiring dengan arus globalisasi, rokok keretek yang merupakan produk kearifan lokal itu dilanda isu sebagai produk tidak sehat tanpa didukung data hasil riset memadai.

Ironisnya, isu rokok tidak sehat tersebut berembus dari luar negeri serta dibangun melalui kegiatan riset asing. Sementara itu, potensi lokal kurang percaya diri untuk melakukan inovasi tentang rokok sehat. Apalagi, ide tentang rokok sehat terkesan menentang arus. "Muncul pemikiran saya untuk ikut mengkaji bahaya rokok. Apakah memang sudah final asap rokok itu berbahaya?" ujarnya.

Ketertarikan Sutiman untuk meneliti rokok dimulai pada 2007. Secara garis besar, prinsip yang dia lakukan kala itu adalah menghilangkan radikal bebas dari asap rokok. Selain itu, memodifikasi makro molekul yang terkandung dalam asap rokok lewat sentuhan teknologi dengan ukuran lebih kecil.

"Divine cigarette ini ada senyawanya, sehingga mampu menjinakkan radikal bebas. Tapi, senyawanya apa saja, itu yang masih dalam proses dipatenkan," ucap guru besar UB yang kini diperbantukan sebagai dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, tersebut.

Bagi perokok, penggunaan divine cigarette tersebut cukup mudah. Filter yang menempel di rokok diambil, selanjutnya diganti divine cigarette hasil penemuan Sutiman. Dengan begitu, divine cigarette menggantikan filter asli pada rokok. "Filter yang asli tinggal diambil dan diganti divine cigarette ini. Tidak rumit," jelas dosen yang juga bertugas di program doktor pendidikan biologi UM (Universitas Negeri Malang) itu.

Dari beberapa responden yang menggunakan divine cigarette tersebut, didapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian. Di antaranya, merokok terasa lebih ringan. Bahkan, menghasilkan manfaat di luar yang dipikirkan. Di antaranya, saat merokok di ruang ber-AC, tidak timbul kabut tebal dan tidak meninggalkan bau di ruangan. Lebih dari itu, ada yang lebih penting bagi perokok pasif. Perokok pasif lebih aman ketika berdekatan dengan si perokok.

Hasil diskusi dengan rekannya sesama dosen UB, Yudi Arinto Ponco Wardoyo PhD yang mengambil disertasi soal asap, banyak memberikan support bagi penelitian Sutiman. "Saya sering berdiskusi dengan beliau (Yudi). Saya mendapat banyak masukan untuk memecahkan bahaya kandungan asap rokok," ungkap dosen yang sudah melahirkan puluhan karya penelitian tersebut.

Menurut Sutiman, asap rokok berasal dari pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan ribuan komponen berbahaya. Dari komponen tersebut, berhasil ditemukan sekitar lima ribu komponen yang bisa diamati seperti aseton (cat kuku), toluidin (cat) metanol (spiritus bakar), polonium (bahan radioaktif), arsen (racun tikus), serta toluene (pelarut industri). "Hipotesis saya, radikal bebas dari asap rokok memang berbahaya. Tapi, komponen racun yang terkandung itu bisa diminimalisasi," tegas dosen yang memiliki bidang keahlian sel biologi tersebut.

Dia menyebutkan, hasil penelitian dalam bentuk divine cigarette tersebut merupakan fase-fase awal. Karena itu, Sutiman masih merancang penelitian lanjutan. Dua kajian yang sedang dilakukan adalah mengarakteristik jenis-jenis asap dan mengumpulkan data-data dari pengguna divine cigarette. Total ada 200 responden yang dilibatkan dalam penelitian tersebut.

Mengenai divine cigarette, Sutiman mengaku respons masyarakat, terutama dari kalangan perokok, cukup banyak. Kendati belum diproduksi masal, setidaknya dalam sehari ada permintaan sekitar 30 pak divine cigarette. "Hasil penjualan itu digunakan untuk membiayai penelitian yang sudah saya rancang," katanya.

Demi uji coba divine cigarette tersebut, Sutiman mendirikan laboratorium swasta yang diberi nama Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas di Malang. Labotarium sebagai tempat produksi tersebut juga digunakan untuk mengumpulkan kajian riset. "Saya memiliki donatur tetap yang bersifat individu untuk membiayai penelitian saya ini," jelas pria murah senyum tersebut.

Menghadapi kontroversi bahwa rokok mengakibatkan gangguan kesehatan, Sutiman sementara mengambil langkah aman. Di antaranya, kapasitas produksi divine cigarette masih dibatasi, belum menawarkan hasil penelitiannya kepada perusahaan rokok, dan tidak menggunakan sistem marketing untuk mengenalkan hasil penelitian tersebut. Dia beralasan semua masih dalam tahap penyempurnaan. (*/jpnn/c5/iro)

copy dari : jpnn.com

Senin, 01 Agustus 2016

Sulitnya Ekonomi Liberal


Liberal blues

The many meanings of liberalism

Jul 30th 2016

by Johnson

AMERICAN politics reached one of its quadrennial high points this month, as the two major parties met to nominate their candidates for president. Amid the hoo-hah, one word was curiously in abeyance. “Liberalism” is disappearing in America—and elsewhere.

Once “liberalism” was the proud banner of the Democrats—and the bogeyman of Republicans. Pat Buchanan, an insurgent Republican conservative, declared a “cultural war” against “liberals and radicals” in a rousing convention speech in 1992. Frank Luntz, a Republican consultant, advised Republicans to use words like “liberal”, “sick”, “corrupt” and “traitors” together, to tarnish the Democrats.

Older liberals still embrace the term: Paul Krugman, an economist, blogs for the New York Times under the banner “The Conscience of a Liberal”, and Thomas Frank has written a book called “Listen, Liberal” chiding Democrats for losing sight of the working class. But the young American left increasingly prefers a different label. When Hillary Clinton introduced Tim Kaine, her choice for vice-president, in an e-mail, she knew the word eager activists wanted to hear: “Tim is a lifelong fighter for progressive causes.” “Progressive” is supplanting “liberal”, with Republicans perhaps now the last remaining users of the older word, as in their oft-repeated complaint about the “liberal media” or “liberal values”.
Advertisement

“Liberal” has meant many different things over the course of its career. The first political liberals under that name were Spaniards who, in 1814, opposed the king’s suspension of the constitution, and the word spread from Spain to France. But it put down especially deep roots in England, associated in philosophy with John Stuart Mill and in politics with the Liberal Party. James Wilson, The Economist’s founder, was a Liberal member of Parliament in the 19th century. This liberalism, the sort that this newspaper champions, emphasises individual freedom, free markets and a limited state.

But over time the word has headed elsewhere. In French- and Spanish-speaking countries, “liberal”, now often prefixed by “neo-”, is a fighting word used with exactly the opposite meaning to that which it has in America: to describe a heartless small-government economic philosophy, and a global order in which the World Bank and International Monetary Fund boss poor countries around, forcing them to adopt market-based economic policies. In America, liberalism’s association with big, not small, government began with Franklin Roosevelt’s New Deal.

In some places, the word “liberal” seems to have no meaning at all. Japan’s ruling Liberal Democratic Party is a mildly conservative and nationalist one. Russia’s party of the same name is a nakedly fascist one. Britain’s ailing Liberal Democrats and Canada’s governing Liberal Party are among the few parties to have both the “liberal” name and liberal DNA.

“Liberal”, of course, shares an etymology with “liberty” and “liberation”. But many use the latter words, while not at all being liberal: Donald Trump, scowling in Cleveland, said that he plans “to liberate our citizens from…crime and terrorism and lawlessness.” This is classic law-and-order conservatism from a man no one would confuse with any sense of the word “liberal”.

With so much confusion over the “liberal” label, alternatives have arisen. Many liberal parties’ names are plain confusing: the Danish governing party is called “Venstre”, or “Left”, though it is in fact on the liberal centre-right. In other countries, like France, the liberal party has often taken another surprising name: “Radical”, an echo of the time when limiting government really was radical.

Since the 1960s, talk in Western countries of how to divide the economic pie has yielded in part to “post-industrial” concerns like the environment and women’s rights. Parties that focus on these now typically call themselves “green”, not “liberal”. Those who prioritise privacy and the right to be left alone by the state have hived off “libertarian” from the old shared root of “liberal” and “liberty”. To add a further twist, left-libertarians sometimes call themselves, tongue in cheek, “liberaltarians”.

If it is not easy to define “liberal”, it is easy to spot its rivals, authoritarianism and fundamentalism of all kinds. Whatever the confusion over the meanings of “liberal”, one of its elements has always been optimism. Even if the word itself fades, the faith behind it will not.

copy dari economist