Senin, 30 November 2015

Negara dan Warsito

Negara belum berhasil menunjukkan wisdomnya persoalan ini. Kalau kementrian kesehatan yang menyelesaikan sepertinya kebanyakan konflik of interest. Menteri pendidikan dan menteri perindustrian saja lah yang menyelesaiakan, ya...

Berikut copy nasihat-nasihat untuk penanganan temuan Warsito, diambil dari akun fb : Tonang Dwi Ardyanto (posting tgl 1 des 2015).
~~>
Pak La Agusu meminta tanggapan saya terkait yang Pak La Agusu sebut tentang keluhan Pak Warsito Purwo Taruno. Disebutkan bahwa ada surat dari sebuah lembaga yang memintanya menghentikan aktivitas (penelitian) nya.
Tulisan beliau ada di sini:
https://www.facebook.com/la.agusu/posts/10208590968515295?comment_id=10208592539514569&notif_t=mentions_comment
Tanggapan saya:
Masalah ini pernah saya bahas panjang lebar pada Oktober-November 2013 lalu.
https://www.facebook.com/tonang.ardyanto/posts/582912221744369
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=594898077212450&set=a.268476426521285.59746.100000767888723&type=3
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=594486427253615&set=a.268476426521285.59746.100000767888723&type=3
https://www.facebook.com/tonang.ardyanto/posts/583519268350331
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=600028673366057&set=a.268476426521285.59746.100000767888723&type=3
Poin pentingnya:
Justru saya mengusulkan ke Kemkes (dan saya berusaha secara nyata menghubungi pejabat-pejabat berwenang terkait masalah ini), justru agar Kemkes mengambil alih penelitian dan "aktivitas terapi" tersebut. Mengapa? Karena menjaga keselamatan para pihak, terutama masyarakat dan termasuk Pak Warsito Purwo Taruno sendiri.
Mengapa? Karena sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004, UU Kesehatan 36/2009, UU Tenaga Kesehatan 36/2014 (aturan terbaru), maka tidak ada hak bagi yang bukan tenaga kesehatan untuk melakukan terapi. Ancaman bagi pemberi terapi yang bukan kompetensinya? Pidana. Risiko bagi "pengguna terapi yang tidak sesuai regulasi"? Tidak ada jaminan hukum bila terjadi masalah.
Tentang "terapi" ini lah yang menjadi pangkal perdebatan. Sedangkan soal penelitian, tentu harus didukung sebagai sebuah keniscayaan perkembangan jaman. Justru itu dibutuhkan.
Masalahnya, mari kita dorong agar pemberian terapi itu justru dalam bingkai regulasi. Agar penelitian yang telah dilakukan, mendapatkan tempat untuk benar-benar diuji dalam bingkai yang sesuai regulasi juga.
Nampaknya, pihak Kemkes sendiri kikuk dan merasa serba canggung menghadapi masalah ini. Hal itu saya tangkap dari komunikasi dengan beberapa pejabat waktu itu (Okt-Nov 2013).
Secara praktis di lapangan, terjadi juga persinggungan. Mengapa? Karena kemudian muncul klaim: pakai jaket saja, tidak perlu ke dokter, lebih baik, tanpa operasi, banyak kok yang berhasil. Padahal ada juga "komunikasi dan konsultasi" di balik itu yang itu pun perlu menjadi perhatian dalam hal apakah sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki.
Di sisi lain, tentu munculnya klaim-klaim seperti itu tidak nyaman bagi teman-teman praktisi medis terutama di bidang onkologi. Padahal mereka juga menerima tidak sedikit pasien yang menjadi terlambat ditangani secara medis, karena lebih dulu mencoba menggunakan jaket. Dari yang semula masih pada fase untuk "masih bisa diharapkan perbaikan melalui operas" (istilahnya operable) menjadi tidak lagi ada harapan lebih baik (in-operable). Hal itu kemudian mudah mengerucut pada klaim lagi: terbukti kan dokter juga sudah angkat tangan.
Kondisi yang demikian sungguh tidak positif untuk semua pihak. Maka usul saja jelas: Kemkes yang mengambil alih. Lakukan sesuai prosedur penelitian dan pengembangan terapetik. Dengan demikian, menjadi melindungi para pihak. Tidak perlu juga kemudian berkembang rasa saling curiga, rasa saling "merendahkan".
Ada yang bilang "lha salahnya sendiri Kemkes tidak mau bergerak". Kalaupun memang benar demikian, itu salahnya Kemkes. Tetapi jelas itu bukan alasan untuk kemudian kita juga melakukan hal yang tidak semestinya.
Ada lagi yang bilang "masih lebih baik daripada terapi-terapi lain yang lebih tidak jelas lagi dasar ilmiahnya". Justru, apakah memang itu kelas Prof Warsito Purwo Taruno? Saya yakin beliau jauh di atas yang seperti itu.
Ada yang harus kita ingat, ada 4 prinsip utama Etika Penelitian Kesehatan: Respect for Human Dignity, Respect for Privacy and Confidentiality, Respect for Justice and Inclusiveness serta Balancing Benefit and Harms. Ada beberapa yang menambahkan prinsip lain, tetapi merupakan turunan dari 4 prinsip utama tersebut.
Mari kita dorong ke ara solusi, bukan sekedar menguras emosi, apalagi mencari sensasi.
Salam Indonesia!

-- post tgl 29 September 2013--
Pak Hery Mochtady meminta saya berkomentar tentang tayangan suatu acara yang menampilkan temuan terapi kanker oleh Pak Warsito Purwo Taruno. Kesan saya, ada jawaban dari Dokter sebagai narasumber di acara tersebut, yang tidak tegas bersikap tentang temuan dimaksud. Mohon maaf saya belum sempat menyaksikan keseluruhan acara tersebut. Namun berikut komentar saya berdasarkan yang saya tahu.
Kami di bidang kedokteran bukan tidak tahu atau tidak membaca temuan atau laporan spt hasil karya Pak Dr. Warsito Purwo Taruno. Kami sangat menghargai niat baik beliau tersebut. Pernah pula seingat saya, beliau diminta ikut berbicara di forum ilmiah kedokteran. Pernah pula beliau kami undang ke PMI Solo untuk berdiskusi tentang kemungkinan membawa pasien-pasien kanker yang kurang mampu ke terapi temuan beliau (sebagai bagian dari sumbangsih PMI Solo).
Mengapa dicitrakan bahwa kalangan dokter tidak menerima temuan tersebut? Persoalannya pada satu filosofi bidang kedokteran: Medicine is a science of uncertainty and art of probability. Di sisi lain, ada ekspektasi yang lain terhadap dokter dibanding pihak lain, ketika sama-sama melontarkan suatu pendapat. Para dokter cenderung khawatir bila apa yang disampaikan langsung diterima sebagai simpulan akhir. Padahal semua masih berproses.
Kondisi ini yang membuat para dokter cenderung sangat berhati-hati. Bukan karena kami tidak menghargai. Kami sangat menghargai temuan spt Pak Warsito. Tetapi untuk menyebutnya sebagai "terapi kanker" dalam prinsip Evidence-based Medicine dan Value-based Medicine, tentu perlu proses. Sejauh ini kami masih pada pemahaman bahwa "semakin kuat suatu terapi terhadap kanker, juga semakin besar risiko efek sampingnya pada sel-sel yang normal". Karena itu, kami biasanya berhitung pada risk-and-benefit yang optimal.
Sel-sel kanker memiliki aktivitas lebih tinggi - lebih sering dan lebih cepat membelah diri - daripada sel-sel normal. Dengan aktivitas itu, maka penyerapan energi dan loncatan energi yang ditimbulkan juga tinggi. Pada pemberian kemoterapi, sel-sel yang beraktivitas tinggi ini yang menjadi sasaran karena berarti lebih tinggi pula menyerap obat kemo terasebut. Karena sel-sel di kulit, rambut dan mucosa (selaput lendir saluran cerna misalnya) juga termasuk sel yang beraktivitas tinggi, maka efek samping yang paling sering kita lihat juga terjadi pada sel-sel tersebut. Prinsip yang sama berlaku pula pada pemberian Radioterapi. Pilihan terapi ini dengan dosis bervariasi, juga baik secara tunggal maupun kombinasi beberapa obat, disesuaikan dengan jenis, derajat keganasan maupun luasnya sebaran. Langkah ini untuk memenuhi prinsip terapi berbasis bukti (Evidence-based Medicine). Termasuk di dalamnya memperhitungkan soal usia, kondisi umum pasien dan harapan keberhasilan (prognosis) yang semata-mata agar tidak hanya memenuhi EBM tetapi juga Value-based Medicine (VBM).
Semakin berkembang, semakin diharapkan kita temukan obat anti kanker yang mampu mendeteksi sel-sel targetnya dengan lebih spesifik, melalui pengenalan suatu reseptor, ligand ataupun penanda khusus (cluster of differentiation) yang khusus diekspresikan di permukaan sel kanker, sehingga diharapkan meminimalkan efek terhadap sel-sel lain yang sebenarnya normal.
Kemampuan saya memahami prinsip kerja temuan Pak Warsito juga demikian: memaparkan energi listrik ke suatu bagian atau seluruh tubuh untuk ditargetkan pada sel-sel kanker yang memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan sel-sel normal. Hanya saya tidak berani berkomentar terlalu jauh, apakah misalnya ada efek samping, apakah tidak terbentuk sebaran sel kanker secara micro-satelit, apakah tidak terjadi disregularitas pada sel-sel yang normal, semata-mata karena belum mendapatkan data penelitian yang lebih komprehensif. Hal itu semata-mata bukan karena meragukan kapasitas beliau, tetapi lebih untuk memenuhi prinsip-prinsip terapi berbasis bukti. Tentu saya yakin beliau juga paham bahwa bukti dalam hal ini bukan sekedar laporan kasus, atau apalagi - maaf - testimoni. Saya yakin beliau juga mendukung prinsip tersebut.
Hal yang juga sering membuat kalangan dokter menahan diri adalah model pemberitaan yang tergiring untuk membenturkan temuan tersebut dengan pilihan terapi yang dipilih para dokter berdasarkan prinsip terapi-berbasis-bukti. Pemberitaan atau opini model ini, maaf, menyakitkan bagi kami. Kondisi itu justru membuat para dokter semakin menarik diri. Ujung-ujungnya diskusi tentang hal ini menjadi terhambat. Alih-alih terbangun diskusi yang menyehatkan, justru para dokter yang merasa disudutkan.
Akan sangat baik bila pemerintah memayungi dengan membiayai penelitian ilmiah skala besar justru untuk membuktikan bahwa temuan tersebut memang merupakan pilihan yang baik. Bila sudah kita dapatkan bukti itu, saya berpendapat, kalangan dokter juga akan mudah menerima, sebagaimana juga berlangsung pada upaya saintifikasi jamu sebagai obat herbal. Bila itu kita capai, semua akan senang. Rakyat senang, pemerintah senang, kalangan dokter juga senang.
Sementara itu, sebelum bukti itu kita dapatkan, kalangan dokter tidak akan menghalangi bila pasien sesuai dengan haknya akan menggunakan pilihan terapi lain. Yang - saya kira - diharapkan para dokter adalah: mari terbuka, sampaikan dengan jelas pilihan Anda wahai para pasien, janganlah menutupi bila memang ada pilihan lain. Jangan kalau berhasil dengan pilihan terapi lain, dokternya yang dituding kurang pengetahuan. Tetapi kalau kebetulan tidak berhasil dengan pilihan lain, dokternya juga yang tetap disalahkan. Adanya keterbukaan justru akan menambah data tentang bagaimana kolaborasi, bila memang memungkinkan, antara pilihan terapi medis dengan pilihan terapi yang lain.
Mari.
(Itu informasi ringkas yang saya tahu sebagai Anggota Tim Kanker di RS Moewardi Surakarta. Mohon kepada para sejawat Onkologi untuk mengoreksinya).