Mengapa agama kerap memusuhi perempuan?
oleh : Lanny Octavia
SATUHARAPAN.COM – ‘Penerbangan terganggu gara-gara lelaki Yahudi ultra-ortodoks menolak duduk di samping perempuan’, demikianlah tajuk berita yang dilansir The Guardian pada tanggal 26/09/2014. Saat menaiki pesawat, rupanya sekelompok lelaki Yahudi ultra-ortodoks meminta supaya penumpang perempuan berpindah ke tempat duduk lainnya, sembari menawarkan uang kompensasi.
Ketika tak mendapat tanggapan yang diinginkan, mereka pun bersikukuh
untuk berdiri di lorong pesawat sehingga menunda proses keberangkatan.
Meski kemudian sang pilot berhasil meyakinkan mereka untuk duduk tenang,
kericuhan pun kembali terjadi sesaat setelah tinggal landas. Mereka
kembali berdiri dan menghalangi lalu lalang orang di pesawat yang
menempuh belasan jam perjalanan dari New York ke Tel Aviv tersebut.
Di Israel, kelompok inilah yang memperjuangkan pemisahan antara
lelaki-perempuan di bis-bis kota dan tempat umum lainnya. Perempuan
diharuskan duduk di kursi belakang, agar tak terlihat kemudian
menciderai iman mereka pada Tuhan. Sekedar gambar perempuan pun tidak
boleh ditampilkan di ruang publik, sampai-sampai foto resmi Gedung Putih
yang memperlihatkan sosok Hillary Clinton dalam acara ‘nobar’
penangkapan Usamah bin Laden pun dihapus oleh surat kabar Yahudi
Orthodoks seperti Hamodia dan Der Zeitung.
Orthodoksi serupa juga menjamah agama-agama besar lainnya, termasuk
Kristen, Hindu dan Islam. Di Amerika ada kelompok ‘Kristen kanan’ yang
mendukung kebijakan konservatif seperti pembatasan kontrasepsi dan
aborsi, serta menentang pengakuan hukum atas hak-hak sipil kaum LGBT.
Mereka menganggap bahwa liberalisme dan feminisme telah mengundang
kemurkaan Ilahi, dan karenanya pula Amerika akhirnya ‘diazab’ oleh
siksaan terorisme bertubi-tubi.
Penekanan terhadap nilai-nilai moral tradisional terkait pernikahan
dan keluarga, selalu dijunjung tinggi oleh kelompok fundamentalis di
mana-mana, baik itu di Amerika maupun di India. Dalam hal ini, perempuan
dipandang sebagai penjaga kemurnian agama sehingga harus diatur
sedemikian rupa. Tak hanya sekedar mengebiri hak-hak perempuan untuk
mengontrol tubuhnya sendiri melalui pelarangan kontrasepsi dan aborsi,
fundamentalisme di India bahkan berupaya melangkah lebih jauh lagi
dengan memberlakukan hukum keluarga Hindu yang kental dengan aroma
patriarki dan menghidupkan tradisi sati (bakar diri sebagai pertanda kesalehan istri yang ditinggal mati sang suami).
Di Indonesia, kelompok Islam fundamentalis juga menunjukkan
resistensi yang sama terhadap hak-hak perempuan termasuk dalam soal
reproduksi. Hal tersebut dikarenakan perempuan dianggap sebagai ‘ideological and biological reproducers’
yang berperan penting dalam pertumbuh-kembangan gerakan mereka. Sebagai
kelompok non-mainstream, mereka berkembang melalui media perekrutan,
ikatan pernikahan, dan kelahiran. Di sinilah perempuan berperan sebagai
simpul penting yang mengaitkan jejaring gerakan melalui pernikahan,
untuk kemudian melahirkan tentara-tentara (jundi) demi memperkuat barisan yang berkehendak menegakkan firman Tuhan.
Secara ideologis, perempuan jualah yang menyemaikan nilai-nilai
fundamentalis pada generasi penerusnya. Di sisi lain, perempuan turut
berperan secara aktif dan produktif pula dalam merekrut, melatih dan
mengindoktrinasi sesama saudara perempuan. Mereka pun tak segan-segan
turun ke jalanan demi menyukseskan agenda gerakan. Perempuan merupakan
simbol identitas kelompok, sekaligus sebagai instrumen yang efektif
untuk menerapkan ideologi mereka. Tak heran jika kemudian perempuan lah
yang menjadi sasaran utama dalam proyek Islamisasi atau syariatisasi di
negeri ini.
Mengapa Perempuan?
Jikalau fundamentalisme agama selalu mengorbankan perempuan, lalu
mengapa pula mereka mendukung gerakan ini dan mengadopsi ideologi
patriarki dengan sepenuh hati? Hasil penelitian Yayasan Rumah Kita
Bersama (Rumah KitaB) menunjukkan bahwa sedikitnya ada tiga alasan yang
melandasi partisipasi perempuan dalam gerakan Islam fundamentalis di
Indonesia. Pertama, faktor ideologi. Jika ditelusuri, rata-rata
perempuan ini pada awalnya awam dalam soal agama. Gerakan inilah yang
pertama kali menyadarkan mereka akan keterbatasan wawasan agama, dan
mendorong mereka untuk terus menerus mencari kebenaran hakiki. Mereka
pun merasa menjadi Muslim yang yang terlahir kembali setelah mendapat
pencerahan ukhrawi.
‘Women are the best friends of religions, but religions are not always the best friends of women’. (Annemarie Schimmel)
|
Yang didambakan tak lain adalah kemurnian, karenanya mereka pahami
ayat suci apa adanya tanpa memandang konteks kekinian. Mereka cenderung
mengklaim kebenaran tunggal, karena meyakini hanya kelompoknyalah yang
diberi-Nya petunjuk atau hidayah. Misi mereka pada akhirnya adalah
menerapkan hukum ilahi bukan hanya dalam skala pribadi, namun menyeluruh
di semua lini kehidupan duniawi.
Kedua, faktor sosial. Rata-rata perempuan ini ‘diselamatkan’
oleh saudara dekatnya sendiri. Mereka yang tadinya terasing pun
menemukan kembali rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati di dalam
‘keluarga’ baru ini. Di sinilah mereka mendapatkan kenyamanan dan
perlindungan sosial, yang semakin jarang ditemukan di masyarakat yang
semakin individualistis.
Ketiga, faktor ekonomi. Keikutsertaan mereka dalam kelompok
ini memanglah tak didasarkan pada insentif materi. Namun berkat berbagai
peran produktifnya, mereka memperoleh hal-hal yang tak ternilai
harganya: mulai dari rasa damai karena jaminan pahala dan kenikmatan
surgawi, pengetahuan dan ketrampilan dalam berorganisasi, sampai
kepuasan batin dan rasa percaya diri. Mereka merasa dihargai dan diberi
posisi, sebagai guru mengaji atau dai, dan memiliki pasar tersendiri
bagi berbagai usaha ekonomi: mulai dari majalah dan busana Islami,
sampai obat dan pengobatan ala Nabi. Ada pula yang memilih bertahan
dalam gerakan ini karena terlanjur nyaman menikmati sokongan moril
materil dari para pengikutnya.
Penelitian Rumah KitaB juga menunjukkan bahwa gerakan Islam
fundamentalis di Indonesia tidaklah monolitik. Sebagian kelompok dengan
tegas meminggirkan perempuan yang dianggap aurat dan fitnah, sehingga
mereka akhirnya meminimalkan atau bahkan meniadakan sama sekali peran
perempuan di ranah publik. Namun demikian, peminggiran perempuan tidak
terjadi di dalam gerakan yang bersifat politis, yang justru menggerakkan
dan meningkatkan keterlibatan perempuan di ranah publik demi meraih
tujuan mereka.
Partisipasi perempuan dalam hal ini dibolehkan atas nama ‘dakwah,’
yang diterjemahkan dalam skala yang luas, dan didasarkan pada teladan
tokoh perempuan Islam dalam sejarah. Segregasi jender yang diterapkan
menjadi ‘blessing in disguise’, dan membuka ruang tersendiri
bagi perempuan untuk memainkan peran yang setara dengan saudara
lelakinya dalam gerakan. Meski demikian, peran perempuan diperbolehkan
dengan berbagai batasan: misalnya, sejauh anak-suami tidak terabaikan,
tidak dijalankan di waktu malam, atau bercampur dengan non-mahram.
Sebagaimana fundamentalisme dalam agama-agama lainnya, kelompok Islam
fundamentalis juga menerapkan pembagian kerja berbasis jender secara
rigid: lelaki berperan mencari nafkah di ruang publik, sementara
perempuan berperan dalam rumah tangga di ranah domestik, sebagai istri
dan ibu yang baik. Perempuan dipandang mengandung marabahaya, dan karena
itulah kehormatannya harus dilindungi dan gerak-geriknya harus dibatasi
sedemikian rupa. Ketidaksetaraan lelaki-perempuan dalam sejumlah aturan
yang mencakup kepemimpinan, warisan dan pernikahan mereka pandang
menyimpan hikmah mendalam.
Bagi mereka, kesetaraan tidak memiliki landasan Islami, melainkan
bagian dari upaya destruktif yang dilancarkan musuh Islam untuk
memperlemah agama ini. Di titik tersebut, nampaknya betul kata ahli
sufisme, Annemarie Schimel: perempuan merupakan sahabat terbaik agama,
meskipun agama sendiri tak selalu bersahabat terhadap perempuan: ‘Women are the best friends of religions, but religions are not always the best friends of women’.
Penulis adalah alumni Institute of Arab and Islamic Studies, University of Exeter, UK.
copy dari :
satuharapan.com/read-detail/read/perempuan-sahabat-yang-kerap-dimusuhi-agama
diposting sumber tgl 29 desember 2014
satuharapan.com/read-detail/read/perempuan-sahabat-yang-kerap-dimusuhi-agama
diposting sumber tgl 29 desember 2014